RESONANSI

Anies dan Reformasi Kebaruan Partai Politik

Anies itu memang pembaharu demokrasi status quo , maka ia pun pantas dijuluki “The Guardian of Democracy.”

Atau, ada benih-benih kemunculan energi daya gerak perlawanan rakyat dikarenakan betapa tajam kuku dan taring –quasi kekuasaan rezim otoritarian yang di-back up korporasi konglomerasi oligarki melakukan pelanggaran konstitusional dan hukum. Anies cocok disebut pula “The Enforcement Law of Supremacy”.

Belakangan, karena Anies pun disingkirkan masuk kotak “go in the box” sebagai upaya penjegalan di Pilpres maupun di Pilkada 2024 dengan ditinggalkannya oleh para partai pendukungnya, Anies pun telah menginspirasi bakal adanya kehadiran partai-partai baru tidak saja bagi dirinya, pun partai-partai baru lainnya kelak dalam suatu semangat dan energi kebaruan reformasi partai-partai politik ke depan nanti, “The Newly Reform Political Party”.

Kenapa ketiga-tiganya sebagai values system norma hukum demokrasi publik dalam aras dan tatanan daulat rakyat itu melekat ada pada Anies?

Dikarenakan itu ada dukungan dan dorongan publik kelas menengah berjumlah 40 juta lebih terbentuk dari hasil elektoral di Pilpres 2024 lalu sebagai patron dan partner agent of change bagi pemulihan dan perkembangan kembali demokrasi yang selama satu dekade terkungkung dan terpenjara oleh kekuasaan rezim otoritarianisme oligarki.

Tanpa dukungan publik kelas menengah yang pada umumnya memiliki relasi politik sangat kuat di kota-kota dari kalangan kaum komunitas intelektual; masyarakat madani “civilliant society” yang sudah mandiri secara ekonomi, sosial dan budaya; pun kaum komunitas “public of concentia” sadar nilai norma, etika dan moralitas; juga dukungan komunitas kalangan civitas akademika yang berkesadaran hukum “amiqus quriae”; serta komunitas religiusitas para tokoh agamawan:

Memungkinkan politik sebagai panglima dari perubahan dan keberkembangan ideologi, hukum, sosial, budaya, agama bahkan keamanan dan ketahanan, berkesejajaran Anies telah dipersonifikasi secara personal sebagai tokoh penting nasional leadeship bagi perubahan dan keberkembangan itu. Salah satunya, termasuk perangkat dan alat infrastruktur kendaraan politik itu, adalah partai-partai politik.

Partai-partai politik yang sudah terkooptasi, terhegemoni dan terperangkap ke dalam jebakan politik penyanderaan kekuasaan rezim korup, telah terbelenggu dan tertelikung kebebasannya sebagai kendaraan dalam menyuarakan aspirasi rakyatnya.

Partai-partai politik itu pun menjadi korup pula bergeser dari dan untuk “kepentingan rakyat” menjadi “kepentingan para elite partainya.

Maka, semenjak itu pula melalui peran Ketua Umum dipersonifikasi partai itu hanya dimiliki oleh dirinya dan para elite politik di partai itu, sebagai alat bargaining dalam relasi koalisi dengan partai pemenang atau partai berkuasa: hajat untuk bagi-bagi kekuasaan dan proyek.

Hampir pasti ideologi partai pun sudah berubah drastis seperti korporasi: berhamba, berkalang dan bertukang kepada materialisme, kapitalisme dan komersialisme.

Terlebih, disparitas secara ekonomi di negara dan bangsa ini masih dihadapkan jurang masih sangat lebar, terlalu dalam dan meluas malah dikuasai oleh hanya segelintir para penguasa ekonomi raksasa oligarki yang membuat para elite partai politik yang berkoalisi menjalankan pemerintahan hanya menjadi komprador konspirasi mereka dari cuan-cuan kepentingan mereka saling bertukar dan menukar dengan segala macam privilis-privilis yang harus dan wajib sangat menguntungkan mereka.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button