#Lawan IslamofobiaNUIM HIDAYAT

Apa Ideologi Tjahjo Kumolo?

“Menurut saya SKB 11 Menteri adalah bukti nyata kian mundurnya demokrasi di era Presiden Joko Widodo. Bahkan SKB ini berbau “Islamophobia” dan diskriminatif karena yang jelas disasar adalah mereka yang muslim,” tegas Fadli.

Bila ditelaah kebijakan Tjahjo ini memang kontroversial. Pegawai negeri (ASN) kini tidak lagi dievaluasi serius kinerjanya, tapi dievaluasi ideologinya. Mestinya agar aparat negara ini profesional, yang ditelaah adalah kinerjanya, prestasinya, inovasinya dan semacamnya. Bukan arah ideologinya. Bila yang ditelaah adalah pegangan ideologinya, maka negara ini kembali mengikuti kebijakan Orde Lama atau Orde Baru.

Orde Lama dulu menetapkan kebijakan, mereka yang tidak setuju ide Nasakom presiden, maka akan dijebloskan penjara. Maka saat itu puluhan tokoh Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dipenjara. Organisasi yang menentang kebijakan pemerintah yang progresif revolusioner, juga dibubarkan. Partai Masyumi dan PSI saat itu kena getahnya.

Orde Baru yang merupakan antitesa Orde Lama juga tidak jauh beda. Mereka yang dianggap berbau komunis, maka akan dijebloskan penjara. Buku-buku yang dikarang tokoh komunis juga dilarang beredar.

Kini setelah 23 tahun reformasi, masyarakat kembali menghadapi teror yang serupa, teror radikalisme. Mereka yang terpapar radikalisme, bisa sewaktu-waktu ditangkap dan dipecat dari tempat kerjanya. Dan yang sangat menyedihkan teror radikalisme ini hanya ditujukan kepada umat Islam. Masyarakat ‘tidak pernah’ mendengar adanya paparan radikalisme dari kelompok non Islam.


Tjahjo Kumolo, lelaki kelahiran Solo 1 Desember 1957 ini beragama Islam. Ia mengawali karir politiknya sebagai Ketua Umum KNPI periode 1990-1993. Ia lama aktif di Partai Golkar dan kemudian pindah ke PDIP. Ketika Jokowi menjadi presiden, ia diangkat Menteri Dalam Negeri. Kini ia menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Tjahjo mengaku ibunya pernah aktif di Muhammadiyah. Di samping itu ia juga pernah haji tiga kali.

Melihat latar belakang Tjahjo, ia sebenanya tidak telalu sekuler. Ia masih menjalankan rukun agama Islam. Namun yang aneh, kenapa ia begitu getol memusuhi ASN yang terpapar radikal? Bukankah ASN itu menjalankan agamanya dengan baik dan selama mereka tidak membuat teror, mengebom atau membuat kerusuhan, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.

Seharusnya ASN yang dipecat atau tidak bisa naik pangkat adalah mereka yang terpapar terorisme. Bila terpapar radikalisme yang dijadikan panduan, maka menjadi bermasalah. Karena definisi radikalisme tidak jelas dan lebih bersifar subyektif. Misalnya mereka yang setuju khilafah, setuju hukum Islam diterapkan di negeri ini, setuju negara Islami, dan setuju Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dianggap radikal, maka banyak ASN yang beragama Islam menjadi ‘tersangka’.

Padahal persetujuan ASN terhadap hal-hal itu adalah wajar. MUI sendiri telah menetapkan bahwa khilafah dan jihad adalah ajaran Islam. Yang terpenting ASN tetap mengakui negara Pancasila atau NKRI, meski mereka setuju dengan negara khilafah (sebagai bukti sejarah). Dan ASN yang setuju dengan negara Islami atau negara yang menerapkan hukum Islam, seharusnya juga dimaklumi, asal perjuangannya dilakukan dengan cara konstitusional. Apalagi ASN yang suka mendengarkan penceramah yang kritis kepada pemerintah, seharusnya juga tidak perlu dipermasalahkan karena negeri ini adalah negeri demokrasi.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button