RESONANSI

Arus Moderasi Berbaju Toleransi

“Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidla’ al-Shiraath al-Mustaqiim, hal. 230-231)

Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah kalian mempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah SWT akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Imam Baihaqi)

Realitas di atas menunjukkan bahwa sejak masa Sahabat r.a, Islam telah melarang kaum Muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan hari suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir, musyrik maupun Ahlul Kitab.

Jadi sudah sangat jelas, aturan Islam dalam memberikan koridor bertoleransi kepada kaum muslimin. Aktivitas mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama yang lain merupakan hal yang prinsip dalam keyakinan umat Islam, karena hal ini sudah memasuki permasalahan akidah.

Sudah sepatutnya pemerintah khususnya dan masyarakat pada umumnya yang beragama Islam memahami masalah ini sebagai sebuah keyakinan yang perlu dijaga, dan tidak berusaha menodainya atas dasar moderasi beragama. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Diana Nofalia, S.P., Aktivis Muslimah.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button