NASIONAL

Buruh Tolak RUU Cilaka, Ini Alasannya

Jakarta (SI Online) – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak omnibus law RUU Cipta Kerja(Ciptaker) yang sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Penolakan tersebut berlandaskan sembilan pasal yang merugikan nasib buruh.

Sembilan alasan tersebut adalah: (1) hilangnya upah minimum, (2) hilangnya pesangon, (3) outsourcing bebas diterapkan di core bisnis, (4) kerja kontrak tanpa batasan waktu, (5) waktu kerja yang eksploitatif, (6) TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, (7) mudah di PHK, (8) jaminan sosial terancam hilang, dan (9) sanksi pidana hilang.

Terkait dengan pernyataannya yang menyebut omnibus law mengatur jam kerja yang eksploitatif, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan beberapa alasan.

Alasan pertama, di dalam RUU Cipta Kerja tidak lagi diatur waktu kerja 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja atau 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. Dengan kata lain, UU No 13 Tahun 2003 mengatur, waktu kerja dilakukan 5 atau 6 hari kerja. Namun, dalam omnibus law Cipta Kerja, tidak ada lagi ketentuan mengenai 5 dan 6 hari kerja.

“Dalam omnibus law hanya disebutkan, waktu kerja paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu,” kata Said Iqbal dalam siaran persnya, Sabtu (22/2/2020).

Tidak ada batasan hari, lanjutnya, bisa saja pekerja dipekerjakan 10 jam dalam sehari selama 4 hari. Asalkan totalnya 40 jam.

“Selain itu, karena menggunakan frasa paling lama 8 jam 1 hari. Bisa saja hanya dipekerjakan 4 jam dalam sehari atau kurang dari 8 jam, dan upahnya dibayar per jam atau berdasarkan satuan waktu,” tegas Iqbal.

Alasan kedua, di dalam omnibus law juga diatur, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan waktu kerja untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Dengan kata lain, ketentuan ini melegalkan jam kerja melebihi 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.

“Meskipun dikatakan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerinta, namun hal ini membuka celah terjadinya jam kerja yang eksploitatif,” sebut pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini.

Alasan ketiga adalah mengenai waktu kerja lembur. Dalam omnibus law, lembur paling banyak 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam 1 minggu. Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, lembur hanya boleh 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

Menurut Iqbal, mempekerjakan buruh melebihi dari waktu kerja harus dihindari, agar buruh punya waktu yang cukup untuk istirahat.

Oleh karena itu, buruh Indonesia dan KSPI dengan tegas menolak omnibus law secara keseluruhan. Pihaknya meminta Pemerintah dan DPR RI secara arif dan bijaksana tidak mengesahkan beleid yang berpotensi mendegradasi kesejahteraan kaum buruh.

red: farah abdillah

Artikel Terkait

Back to top button