NUIM HIDAYAT

Covid-19, Pandemi Alami atau Rekayasa?

Masalah masker menjadikan saya ‘berantem’ dengan istri dan anak-anak. Karena istri dan anak-anak saya sering membaca dari internet, maka mereka ikut-ikutan pakai masker. Mereka nggak mau lagi mendengar saya agar tidak memakai masker. Saya malas memakai masker, karena melihat kasus teman saya Hadi Mustafa. Ia wafat karena memakai masker mengendarai sepeda jarak jauh. Sejak saat itu saya berkeyakinan memakai masker berbahaya dan tidak ada manfaatnya. Hanya bermanfaat bila lawan bicara kita kena virus flu atau kena virus Covid-19.

Kembali ke awal, virus Covid-19 ini pandemic alami atau rekayasa? Menurut saya rekayasa, tapi ‘saya tidak tahu’ apakah ini rekayasa untuk kebaikan manusia atau keburukan? Dugaan saya untuk kebaikan. Karena para intelektual di dunia banyak yang sadar bahwa sistem yang mengatur dunia ini sudah rusak.

Sistem di dunia ini masih menganut yang berotot yang menang. Bukan yang berakal yang menang. Sistem di dunia ini lebih memuliakan artis daripada guru atau dosen. Lebih memuliakan militer daripada sipil. Lebih mengarah kepada kemaksiatan daripada ketaatan. Lebih mengarah kepada kerusakan manusia daripada kebaikan manusia.

Sistem di dunia yang dibangun Inggris, Amerika dan lain-lain ini, sudah saatnya diganti dengan sistem yang baru. Sistem dunia yang dibangun atas landasan risalah Ilahi, Al-Qur’an. Sistem yang kokoh karena berlandaskan wahyu Ilahi, risalah dari Dzat yang Mengetahui dan Menguasai segalanya.

Al-Qur’an menyatakan, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui.” (QS al Ankabut 41)

Bila Barat, China dan lain-lain membangun peradaban dengan perlombaan senjata, maka Islam membangun peradaban dengan perlombaan ilmu. Peradaban Islam atau Khilafah Islamiyah berdiri bukan untuk menakut-nakuti orang, tapi untuk membahagiakan orang. Peradaban Islam datang bukan untuk memperbudak manusia. Ia datang untuk memerdekakan manusia. Ia datang untuk menyembah Tuhan Allah semata, bukan menyembah makhluk atau manusia, seperti peradaban-peradaban lain.

Allah SWT berfirman, ”Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Bila dulu peradaban Islam muncul di tengah tanah yang tandus dan gersang, maka peradaban Islam tidak lama lagi akan muncul kembali di tanah yang subur. Tanah yang kata banyak orang seperti sekeping tanah dari surga. Itulah tanah air kita, tanah air Indonesia.

Indonesia dalam sejarahnya adalah tanah perjuangan. Tanah yang dalam sejarahnya terus menerus diperebutkan orang-orang kafir untuk dikuasai. Mulai dari ‘abad 16’ Portugis dan Belanda menjejakkan kakinya untuk menguras kekayaan di tanah air dan menaklukkan penduduknya. Kemudian datang Jepang, dan setelah merdeka Amerika dan seterusnya.

Dalam setiap kurun muncul para pahlawan yang gagah berani melawan para penjajah ini. Mulai dari Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain. Di abad 20 muncul Tjokroaminoto, Sudirman, Mohammad Natsir, Agus Salim, Mohammad Roem dan lain-lain. Sayangnya ada beberapa pejuang kemerdekaan, yang setelah merdeka bukan terus berjuang untuk memakmurkan rakyat, tapi memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Para pahlawan atau tokoh itu sebagai manusia, memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kita sebagai pelanjutnya hendaknya mengambil kelebihan yang mereka miliki dan ‘meninggalkan’ kekurangan atau kelemahannya.

Al-Qur’an menyatakan, ”Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat),” (QS an Nur 37)

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button