Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik
Prasyarat baku yang diterapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 itu terus menuai reaksi dari berbagai elemen publik, dari komponen partai non-seat (tidak memiliki kursi di DPR RI), kalangan cendekiawan hukum yang sangat memahami landasan filosofisnya bahkan dari kalangan tokoh non-parpol, termasuk dari para “senator” DPD RI. Suara seirama: PT tersebut melenceng dari prinsip demokrasi, bahkan konstitusi kita sendiri (UUD 1945).
Dalam perspektf demokrasi dan konstitusi kita, seluruh warga negara sama di hadapan hukum. Sistem demokrasi dan konstitusi kita – pada prinsipnya – tak mengenal perbedaan posisi sebagai pemilih dan yang dipilih. Karena itu, sejatinya tak boleh diterapkan ketentuan yang berlebelkan parpol atau nonparpol dari anasir manapun. Haknya sama: bukan hanya memilih, tapi juga dipilih sebagai calon presiden (capres). Selagi ia mumpuni, punya kemauan kuat untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara, juga dikehendaki banyak pihak, maka – secara prinsip – sungguh tidaklah demokratis bahkan inkonstitusional ketentuan yang melarang seorang warga negara untuk dipilih sebagai capres.
Perlu kita catat, Pasal 222 No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu – dalam perspektif perundang-undangan, setidaknya menurut para perumusnya di DPR RI – merupakan jabaran operasional dari Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945. Sementara, jika kita telusuri risalah pembahasan perundang-undangan di MPR terkait Pasal 6A Ayat 2 itu sama sekali tidak bicara persyaratan presidential threshold (PT). Para ahli hukum tata negara menilai, PT sengaja “diselundupkan” oleh kekuatan partai politik yang ada di DPR saat itu. Untuk mencegah – atau tepatnya menghalangi – kekuatan elemen nonparpol atau bahkan parpol-parpol non-seat yang ingin melangkah ke arena pilpres.
Dalam kaitan itu, setidaknya, kita dapat mencatat beberapa hal. Pertama, Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu sendiri sesungguhnya “cacat” dalam perspektif HAM. Karena itu, ketentuan PT yang berinduk pada Pasal 6A Ayat 2 dengan sendirinya cacat juga secara hukum. Kita tahu, seluruh warga negara ini memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Karenanya tidak boleh diperlakukan diskriminasi. Sementara, Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu – secara eksplisit – menggambarkan diskriminasi antara parpol versus nonparpol dalam kaitan bisa dan tidaknya mengusung capres.
Sebuah pertanyaaan mendasar, apakah seluruh warga negara ini pasti berminat ke panggung partai politik? Adalah hak setiap individu untuk bergabung atau tidak ke dalam partai politik. Mereka berhak menilai dan menentukan sikap politiknya. Hak asasi ini – sekali lagi – harus dihormati dan tak boleh dikangkangi untuk perhelatan apapun, termasuk dalam panggung pilpres.
Kedua, pemberlakuan PT dan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 – secara langsung atau tidak – juga menggambarkan keenggenan bahkan ketidaksiapan parpol, terutama parpol-parpol besar – untuk berkompetisi secara terbuka dengan berbagai kekuatan strategis yang siap maju ke kontestasi pilpres. Mereka – dengan portofolio yang dimiliki – tidak siap hadapi lawan secara demokratis. Karena itu, parpol-parpol besar sengaja menjegal proses amandemen Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945, juga tetap mempertahankan PT 20% atau – secara terangterangan – menolak PT nol persen.
Satu hal yang tidak disadari, pemberlakuan pilpres atas dasar konstitusi (Pasal 6A Ayat 2) dan ketentuan PT itu berdampak serius bagi tata-kelola pemerintahan ke depannya. Dampak langsungnya: menguatnya sistem oligarki, dalam baju parpol ataupun cukong. Kekuatan oligarki parpol besar – di satu sisi – menjadikan ketidakberdayaan partai-partai kecil atau partai baru. Mereka – suka atau tidak suka – harus tunduk pada kemauan partai besar. Partai kecil hanya menjadi follower, yang tentu tak akan pernah berfungsi maksimal ketika harus memperjuangkan aspirasi rakyat, selaku pendukungnya ataupun yang bukan afiliasi partainya. Parpol kecil hanya “pelengkap” atau asesoris dalam sistem demokrasi. Penggembira.
Di sisi lain, barisan nonparpol pun – sekalipun ia sangat mumpuni, cerdas, penuh dedikasi dan berintegritas tinggi serta tak diragukan lagi akhlak mulianya, ia pun – kalau ingin nyapres – harus memohon-mohon kepada partai. Implikasinya, siapapun yang nyapres, dari unsur parpol kecil ataupun nonparpol, ketika ia jadi sebagai presiden, ia akan selalu dibebani politik kompensasional. Yang pasti akan terjadi adalah berbagi kekuasaan pada kabinet. Sang presiden baru wajib hukumnya memberikan jatah kepada parpol pengusung. Dan lebih jauh dari itu adalah kendali partai pengusung, sehingga sang presiden terus dibayang-bayangi kekuatan oligarki parpol. Lebih menyeramkan lagi ketika oligarki itu dari elemen cukong. Kehadiran cukong dalam perhelatan pilpres sejalan dengan biaya politiknya yang demikian mahal.
Jika kita cermati ketentuan PT yang memberatkan itu, di sana kita saksikan satu sisi krusial. Yaitu, para cukong – atas dasar prinsip bisnisnya – berkepentingan untuk menekan biaya politik. Dengan semakin terbatasnya jumlah kontestan pasangan capres – hanya dua pasang capres-cawapres – maka, para cukong bisa membaca dengan mudah mana yang harus diback up secara all out, tidak hanya financing, tapi sejumlah manuver kekuatan strategisnya, termasuk pengerahan keamanan di lapangan, di lini lembaga penyelenggara pemilu bahkan lembaga hukum seperti MK.
Topografi kontestasi pilpres yang kian sempit itu mempermudah gerakan kalangan cukong. Hal ini membuat proyeksi bisa tergambar jelas. Dan satu hal yang mendasar: peta kemenangan sudah dapat diprediksi dari awal. Dari proyeksi kemenangan inilah, maka sketsa kepentingan bisnisnya sudah bisa dipersiapkan secara paralel. Inilah strategi oligarki cukong dalam panggung politik (pilpres) Indonesia.