#Save UighurOPINI

Kasus The Wall Steet Journal: Opini Publik Indonesia Terhadap China dan Etnis China

Hanya di level elite

Pemberitaan WSJ juga menunjukkan bahwa pengaruh China di Indonesia saat ini hanya kuat di level elite. Hanya di pemerintahan dan elit politik yang punya kepentingan atas China. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan kepentingan pemerintah terhadap investasi China

Dalam isu Uighur pemerintah tampak sangat berhati-hati. Tidak ada satu komentar pun yang muncul dari otoritas resmi, baik Kemenlu, apalagi Presiden Jokowi.

Sebaliknya di kalangan akar rumput sentimen terhadap China sangat tinggi. Besarnya aliran utang modal dari China dibarengi dengan kekhawatiran dan kewaspadaan masuknya jutaan pekerja China ke Indonesia.

Pengalaman sejumlah negara di Afrika (Nigeria, Angola, Zimbabwe) dan Asia (Pakistan,Srilanka, Laos, Kamboja) bahkan termasuk Eropa Timur (Montenegro) dan Amerika Latin (Venezuela) yang jatuh ke tangan China akibat terjerat utang, menjadikan masyarakat madani di Indonesia sangat prihatin dan khawatir.

Isu Uighur menjadi momentum membangkitkan kembali kesadaran publik betapa berbahayanya bila China sampai menguasai Indonesia. Bukan hanya masalah kebebasan beragama, namun juga masalah hak asasi manusia.

Di media sosial seruan untuk menyelamatkan muslim Uighur bergema. Tagar #China is terrorist menjadi trending topic. Tembus di atas satu juta twit.

Isu China domestik

Sentimen negatif terhadap pemerintah China, sangat erat kaitannya dengan dominasi ekonomi minoritas etnis China di Indonesia.

Keterikatan mereka terhadap budaya negeri leluhur sangat kuat. Sementara pemerintah China tampaknya juga melihat mereka sebagai potensi yang harus dirangkul.

Pada awal Januari 2018 pemerintah China menerbitkan visa khusus bagi keturunan China di seluruh dunia. Mereka bisa mendapat visa khusus tinggal di China selama lima tahun, atau memasuki wilayah China beberapa kali selama masa tersebut.

Etnis China saat ini menguasai perekonomian Indonesia. Mereka menguasai lebih dari 80 persen perekonomian nasional. Setelah sekian lama menjauhkan diri, dalam satu dasa warsa terakhir mereka menunjukkan intensi yang cukup serius untuk masuk ke dunia politik.

Dalam era rezim pemilu yang sangat liberal, kekuatan modal sangat menentukan parpol maupun tokoh/penguasa yang akan terpilih. Semakin besar kepemilikan modal, semakin besar pula peluangnya untuk terpilih.

Pada awalnya mereka hanya menempatkan tokoh-tokoh sebagai proxy di kursi kekuasaan. Namun dalam dua pemilu terakhir mereka langsung terlibat dalam kontestasi melalui pendirian parpol, maupun keterlibatan dalam tim sukses di pilpres dan masuk kabinet.

Tidak perlu kaget bila dominasi ekonomi tersebut akan dengan sangat mudah mereka konversi menjadi dominasi dalam kekuasaan. Jadilah mereka berkuasa secara ekonomi dan politik. Pribumi menjadi terpinggirkan.

Isu-isu semacam itulah yang mendasari mengapa masalah muslim Uighur menjadi bola panas yang membesar. Ada bara yang sudah lama mengendap di bawah sekam. Isu bersatunya China daratan dan China lokal bisa menjadi monster yang menakutkan.

Pemerintah harus benar-benar bijak dan memahami anatomi sosial politik masyarakat. Perlu langkah-langkah konkrit untuk mengatasi kesenjangan sosial dalam masyarakat yang terbelah sangat dalam seperti Indonesia saat ini.

Jangan sampai menjadi ledakan sosial yang tak terkendali. Kita semua yang rugi. End

Hersubeno Arief

Sumber: Facebook @hersubenoarief

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button