Mengenang Perjuangan Ayahanda Mohammad Siddik: “Tugas Ini Sangat Berat”
Pria yang mempunyai filosofi “Hiduplah Sebelum Kamu Dilahirkan” ini tutur katanya begitu lembut serta santun, namun cepat dan sistematis. Boleh jadi karena pengalamannya beraktiftas selama puluhan tahun di lembaga setaraf Internasional seperti PBB, OKI dan Islamic Deveploment Bank (IDB). Pria kelahiran Kuala Simpang- Aceh 78 tahun yang lalu ini pun masih terlihat segar, meskipun sempat mengalami operasi bedah jantung pada 2005.
“Alhamdulillah, ini semua karena Allah, hadza min fadli Rabbi” katanya merendah. Pria yang lahir dari sebuah keluarga yang sederhana ini merupakan keturunan dari Pakistan, Siddik besar dan tumbuh dalam sebuah lingkungan yang begitu peduli dengan pendidikan dan dakwah. Itu pulalah yang membuatnya beraktifitas di organisasi dakwah tingkat nasioanal hingga internasional.
Kakek dari 12 cucu ini tinggal di bilangan Condet Jakarta Timur sempat diamanani sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) periode XI (2015-2020), menggantikan KH. Syuhada Bahri.
Sentuhan pertama kali dengan dakwah dimulainya sejak ketika duduk dibangku SMA. Yaitu ketika aktif menjadi anggota PII, mulai dari pengurus ranting, cabang, wilayah dan hingga pada tahun 1962 dirinya hijrah ke Jakarta menjadi anggota Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII). Kemudian Siddik muda melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Tidak sampai selesai lalu ia pindah kuliah ke UNAS yang waktu itu kuliahnya sore–karena ayahnya meninggal dunia dan karena itu ia juga harus bekerja membiayai pendidikan dan membantu orang tua dan keluarganya.
Baca juga: Innalillahi, Mantan Ketum Dewan Da’wah Ustaz Mohammad Siddik Wafat
Saat kuliah di UNAS hingga tamat sarjana. Selain karena pertimbangan harus bekerja, ada juga alasan lainnya; karena pada waktu itu UI dan banyak universitas negeri lainnya sudah mulai menerima pengarahan dan tekanan dari Bung Karno, dalam arti pelajaran yang diberikan pada waktu itu sudah tidak murni ilmu dan tidak netral. Jadi politik Bung Karno itu diajarakan dan menjadi pegangan di berbagai kampus. Politik, ekonomi, dan semua yang terangkum dalam konsep Demokrasi Terpimpin, Manipol Usdek, jadi pelajaran wajib. Kampus UNAS yang pada waktu itu dipimpin oleh cendekiawan yang berintegritas masih independen.
Kemudian meletus peristiwa Gestapu PKI. Semua kegiatan di PII, Siddik anggap bagian dari kegiatan dakwah karena ia sering mengisi pelatihan dengan ceramah mengenai berbagai topik yang dihubungkan dengan konsep Islam. maka ketika tamat dibangku kuliah pada 1967 beliau segera melapor kepada gurunya Allahuyarham Bapak Mohammad Natsir, dan ketika Pak Natsir mengajaknya untuk bergabung ke Dewan Da’wah yang waktu itu baru saja didirikannya di Masjid Al-Munawarah Tanah Abang Jakarta.
Kuliah Sambil Bekerja
Ketika hendak memutuskan untuk berhenti dari Kampus UI pada 1964 bukan karena kemauannya sendiri. Tetapi lebih karena harus bekerja membantu keluaraga (orang tua dan adik-adik), sejak ayahnya meninggal dunia pada bulan Desember 1963. Siddik sempat terpikir dalam benaknya tidak ada kesempatan belajar lagi karena tidak mampu untuk membiyai kulaihnya.
Sebagai anak laki-laki tertua dari delapan bersaudara (masih ada kakak perempuan) saya merasa harus mengambil alih tanggung jawab keluarga. Alhamdulillah, Ayahnya adalah seorang pedagang kecil, yang mengajarkan etos semangat kerja walaupun tidak meninggalkan harta kecuali pendidikan agama yang mendalam disanubari kami beseta keluarga besar. Itulah yang ia sangat syukuri.
Berita tentang ayahnya meninggal pun terlambat ia terima karena keterbatasan komunikasi pada waktu itu. Ketika ayahnya meninggal, Siddik sedang menghadiri acara Konferensi Wilayah PII Sulawesi Utara di Manado.
“Tugas menghadiri Musywil PII di Manado belum selesai, namun seperti ada desakan untuk saya segera pulang. Saya tidak tahu, tapi karena naik pesawat mahal, maka segera ia naik kapal, karena sampai di Jakarta setelah satu pekan dan satu pekan perjalanan lagi perjalanan ke kampung”, kenangnnya.
Setelah ayahnya meninggal dunia rasanya tidak mungkin ia untuk kembali menuju bangku kuliah, karena ia harus bekerja membantu keluarganya. Namun, kebesaran hati ibunya terus memberikan dorongan semangat belajar kepada Siddik muda untuk terus tetap melanjutkan kuliahnya di Jakarta.