SUARA PEMBACA

Menggoreng Isu Radikalisme di Tengah Kelangkaan Minyak Goreng

Tak henti membuat kegaduhan. Setelah merilis pernyataan 198 pondok pesantren terafiliasi jaringan terorisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali menjual gorengan radikalisme dengan mengungkapkan lima ciri penceramah radikal (liputan6.com, 06/03/2022).

Kelima ciri penceramah radikal versi BNPT yaitu mengajarkan anti Pancasila dan pro khilafah; mengajarkan paham takfiri; sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah; sikap eksklusif; dan anti budaya/kearifan lokal keagamaan.

Tak ayal, pernyataan ini kembali menuai kontroversi di tengah masyarakat. Setidaknya ada dua hal yang memancing kemarahan umat Islam. Pertama, penyebutan kata penceramah. Kedua, lima ciri tersebut kental dengan ajaran Islam. Jelas, gorengan radikalisme ini tak sehat karena mengandung virus Islamofobia.

Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Anwar Abbas mengkritik penyebutan penceramah radikal (suaraislam.id, 09/03/2022). Mengapa hanya penceramah yang notabene identik dengan Islam yang dilabeli radikal. Ini sungguh diskriminatif.

Anggota DPR RI dari fraksi PKS, Bukhori Yusuf menyayangkan pernyataan BNPT. Menurutnya, yang dilakukan BNPT justru memicu kesalahpahaman dan perpecahan di masyarakat.

Sekjen MUI Amirsyah Tambunan membantah lima kriteria atau ciri penceramah radikal yang dikeluarkan oleh BNPT (cnnindonesia.com, 08/03/2022). Menurutnya, BNPT blunder dan tak paham Islam serta khilafah. Ijtima Ulama Komisi Fatwa tahun 2021 memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah agar memahami Jihad dan Khilafah. Dan tidak memandang negatif pada kedua ajaran Islam tersebut. Forum Ijtima itu menegaskan nilai-nilai kesungguhan (Jihad) dan kepemimpinan (Khilafah) adalah ajaran Islam untuk mengatasi problem umat dan bangsa.

Memang lucu negeri ini, khilafah yang mampu menyelesaikan problem umat dan bangsa justru dipandang negatif. Pendakwahnya dicap radikal. Mari kita lihat bagaimana Khilafah mampu menyelesaikan kelangkaan minyak goreng. Salah satu problem dari sekian banyak problem yang tak mampu diselesaikan oleh pemerintah hingga hari ini.

Problem minyak goreng berpangkal dari tata kelola sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan. Negara tunduk pada kebijakan yang dibuat oleh pengusaha. Padahal kebijakan itu menjadi sumber cuan pengusaha dan penderitaan bagi rakyat.

Sebagai pemilik modal besar, para pengusaha menguasai sektor ekonomi mulai dari hulu hingga hilir. Mulai dari produksi hingga pasar. Untuk kelapa sawit, mereka menguasai dari perkebunannya, memproduksi berbagai komoditi berbahan sawit, dan juga pasarnya.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat, berdasarkan data Concentration Ratio (CR), sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh empat perusahaan besar. Yaitu, Anthony Salim, Sukanto Tanoto, Martua Sitorus, Bachtiar Karim (tempo.co, 28/01/2022). Praktik monopoli dimulai dari sini.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button