NUIM HIDAYAT

Mohammad Roem: Diplomat dan Penulis yang Hebat

Haji Agus Salim umumnya dipandang sebagai orator yang brilian. Sangadji mempunyai suara seperti geledek. Perlu diingatkan, bahwa generasi Pak Tjokro belum berbahagia hidup dengan mik dan pengeras suara. Menurut ingatan penulis Pak Tjokro memang mempunyai keistimewaan. Orang di baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang, kecuali ia (juga –pen) mampu mengikat perhatian pendengar berjam-jam…

Kalau dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, penulis rasa orang dapat mengatakan, bahwa kalau orang pernah mendengar dan melihat Soekarno atau Harsono (anak Tjokroaminoto –pen) berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.” (Lihat Majalah Kiblat, Agustus 1972 dalam buku “Bunga Rampai Dari Sejarah (II)”, Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977).

Lihatlah tulisan Roem ketika menulis tentang sahabatnya Kiai Abdul Mukti, yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Madiun dan Ketua Pimpinan Pusat Masyumi Jakarta. Ia memberi judul: “Semangatnya Tak Kunjung Padam: Cuplikan dari Hidup Kiai Mukti”.

Roem menulis: “Waktu Pak Kasman, Bu Roem dan penulis sampai di kamar tidur Kiai Mukti di Rumah Sakit Islam Jakarta, ia sedang tidur. Kami tekankan kepada yang menjaga agar ia jangan dibangunkan. Kami merasa lega, tidak harus mengatakan sesuatu kepada yang sakit. Menengok orang sakit membawa kewajiban mengatakan sesuatu yang membesarkan hati, yang mengandung harapan. Tugas itu tidak mudah.

Badan Kiai Mukti sudah sangat kurus dan lemah. Pernafasan dibantu dengan zat asam yang disalurkan pipa lewat hidungnya. Cairan glucose dituang di badannya dengan pipa yang dimasukkan di pembuluh darah di lengannya.

Tapi ia bangun juga seolah-olah merasakan kehadiran kami. Dengan cepat pipa yang masuk hidung ia tarik, begitu juga pipa di lengannya. Dan sebelum kami dapat mengatakan sesuatu Kiai Mukti sudah berbicara lebih dulu. Meskipun dengan pernafasan berat ia bercakap-cakap secara santai, percakapan itu ia arahkan kepada sebuah kalimat yang penulis tidak lupa: “Di hari-hari ini saya lebih menyadari arti iman kepada Tuhan.” Kita yang sudah agak lama berkenalan dengan Kiai Mukti tahu bagaimana caranya Kiai Mukti menyampaikan buah pikirannya. Secara “matter of fact”, zakelijk, prosaic, biasa. Tidak secara persuasif tidak ada tekanan suara.  Begitulah cara Kiai Mukti bicara. Kalau ada yang meyakinkan ialah karena isi yang dikatakan mengandung kebenaran. Dan kebenaran tidak perlu dikatakan dengan kenaikan suara. Maka berlangsunglah percakapan, yang dimulai oleh Kiai Mukti. Saya sendiri menggunakan kesempatan itu untuk mengucapkan terima kasih atas kebaikannya, menerima bayam dan tomat waktu bersama-sama di Rumah Tahanan Militer tahun 1965. Bayam dan tomat itu Kiai Mukti sendiri yang menanam. Hasilnya tidak habis dimakan sendiri…

Pertama kali penulis melihat Kiai Mukti ialah di tahun 1925. Sehubungan dengan kunjungan Pengurus Besar Muhammadiyah di Kudus, maka Muhammadiyah di Kudus, maka Muhammadiyah cabang Kudus mengadakan acara khusus. Antara lain Hizbul Wathon berbaris dengan tambur dan trompet menyelusuri beberapa Jalan Raya di Kota Kudus. Kejadian itu sangat menarik perhatian rakyat. Akhirnya anak-anak dan juga orang tua yang menonton ikut jalan di belakang barisan dengan jumlah lebih besar. Dengan kebetulan sekali penulis berada di Kudus dan menemukan dirinya di tengah-tengah rakyat yang ikut berjalan di belakang barisan Hizbul Wathon. Jika dalam perjalanan itu ada tempat yang agak luas maka barisan berhenti. Rakyat yang menonton tambah banyak lagi. Kesempatan itu dipergunakan untuk bertabligh atau berdakwah. Kiai Mukti yang pada waktu itu menjadi Ketua Cabang Kudus memimpin acara-acara.” (Lihat Bunga Rampai dari Sejarah (3), Mohammad Roem, Bulan Bintang, 1983, Hlm. 11-13).

***

Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.

Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Tamat dari HIS pada 1924.

Semangat perjuangan Roem mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya. Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.

Penghinaan itu belum selesai. Di waktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button