OPINI

Pemerintah Ingin Selamatkan Kantong BPJS, Tapi Dampaknya Abai pada Kantong Masyarakat

Kedua, kebijakan ini dirilis sebelum tuntutan transparansi, efisiensi, serta tata kelola kelembagaan yang bersih benar-benar ditunaikan BPJS. Sehingga, kita tak pernah benar-benar tahu, masalah yang diidap oleh BPJS ini apakah masalah di kepesertaan, ataukah di tata kelola yang buruk.

Pada 24 Mei 2019 lalu, misalnya, BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) melakukan dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI tentang hasil audit Dana jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2018. BPKP menemukan adanya inefisiensi pembayaran klaim layanan di RS (Rumah Sakit) sebesar Rp819 milyar karena kontrak antara RS dan BPJS Kesehatan menggunakan tarif untuk kelas RS yang lebih tinggi.

Selain itu, data base kepesertaan BPJS juga belum optimal, karena masih ada temuan 27,44 juta data peserta bermasalah. Ini sebenarnya adalah masalah lama, tapi belum juga diselesaikan. BPJS seharusnya mempercepat proses ‘data cleansing’ kepesertaan ini.

Transparansi BPJS juga sangat buruk. Hingga hari ini BPJS belum mengunggah Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan 2018, padahal ini adalah bagian dari pertanggungjawaban publik. Dokumen laporan pengelolaan dana jaminan sosial mereka unggah terakhir adalah tahun 2017.

Ketiga, pangkal mula permasalahan defisit BPJS sebenarnya bisa ditarik ke rendahnya anggaran kesehatan Indonesia. Dari lebih Rp2 ribu triliun APBN, anggaran kesehatan kita hanya sekitar Rp110 triliun. Jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan kita hanya sekitar 2,8 persen dari GDP. Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar US$112 perkapita. Ini jumlah yang kecil sekali. Idealnya, proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP itu sekitar 10 persen.

Jadi, kebijakan menaikkan iuran BPJS hingga lebih dari seratus persen ini menurut saya keliru. Ini kebijakan publik yang buruk, karena yang dipikirkan Pemerintah hanyalah bagaimana menyelamatkan keuangannya sendiri, tidak mau tahu implikasinya pada kantong masyarakat.

Presiden mestinya segera mengevaluasi direksi dan kelembagaan BPJS. Bagaimanapun lembaga ini langsung berada di bawah Presiden, bukan di bawah Menteri Kesehatan. Saya usul, ada beberapa hal yang harus segera dievaluasi oleh Presiden.

Pertama, BPJS ini adalah Badan Hukum Publik, bukan BUMN atau perusahaan. Sehingga, sangat tidak pantas jika Direksi BPJS digaji seperti halnya CEO atau direksi bank. Apalagi, lembaga ini terus-menerus defisit. Ini yang mencederai kepercayaan publik pada lembaga tersebut.

Kedua, sudah saatnya transparansi tata kelola BPJS memanfaatkan teknologi digital. Bila perlu, tiap peserta punya mobile account yang bisa mengecek detail klaim yang diterima pada tiap transaksi, bukan hanya kapan harus bayar iuran saja. Sudah bukan rahasia lagi jika selama ini peserta tidak bisa memantau jumlah biaya yang sudah diklaimnya, juga tidak tahu persis manfaat atau fasilitas apa yang bisa diklaim, serta mana yang tidak. Padahal, di sisi lain, saat peserta datang ke rumah sakit mereka harus menandatangani perjanjian untuk membayar sendiri item-item manfaat yang tak ditanggung BPJS.

Demi transparansi, seharusnya hal ini tak sulit dilakukan. Bukankah Presiden di mana-mana selalu ngomong Revolusi Industri 4.0, ‘unicorn’, ‘decacornn’, atau tol langit? Harusnya semua itu segera diterapkan untuk membenahi BPJS Kesehatan.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button