People Power itu Solusi
Presiden Jokowi pernah berpidato yang kata katanya monumental yaitu “ruwet ruwet ruwet”. Ia dengan ‘cerdas’ membaca keadaan negara di bawah kepemimpinannya sendiri yang memang ruwet.
Ekonomi dengan investasi sebagai sokoguru tidak sukses meski berbagai promo telah dikampanyekan. Ada insentif keringanan pajak, lahan murah maupun perizinan yang disederhanakan. Omnibus Law menjadi karpet merah untuk investor. Jokowi habis-habisan untuk ini meskipun terpaksa harus melawan arus kebencian dan perlawanan rakyat.
Kedaulatan hukum dibuat ruwet dengan permainan. Kekuasaan dan keuangan mampu menunggangi hukum. Membuat aturan dengan berbasis kepentingan, mengkriminalisasi dan menyandera.
Tidak berlaku asas hukum itu “supreme” atau kesetaraan “equality before the law”. Dewi keadilan tidak tertutup matanya tetapi membelalak mengancam lawan dan bermain mata dengan kawan. Tidak bisa berkedip ketika memandang keuntungan. Meski itu hasil dari hutang yang memberatkan.
Agama dan moral tidak ditakuti bahkan bisa dibuat untuk menakut-nakuti. “Amar ma’ruf nahi munkar” bias dengan ”amar munkar nahi ma’ruf”. Yang salah jumawa yang benar terpenjara. Dusta menjadi biasa. Jujur dianggap bodoh. Beragama itu khayalan tentang masa depan. Akhirat yang dinafikan.
Pemimpin berkualifikasi penjahat dan pendosa sulit diharapkan untuk mampu mencari solusi bagi rakyat. Peran dan fungsi dirinya justru membuat masalah. Merekayasa dari satu kasus kepada kasus lainnya. Terus menerus. Mencari kesempatan dari kesempitan yang diderita rakyat. Begitulah karakter penjajah. Apakah Belanda, Jepang ataupun sesama bangsa Indonesia sendiri.
Jika demikian, rakyat harus menyelesaikan dengan cara sendiri. Bukan ikut arahan atau kompromi. Berharap merdeka dengan sukarela tidaklah mudah. Pemberontakan dan perlawanan adalah jalan. Walaupun dengan cara menekan dan mendesak. Melalui aksi-aksi jalanan.
Benar Pemilu merupakan wujud dari demokrasi akan tetapi Pemilu yang dimobilisasi untuk kepentingan oligarki adalah kebohongan yang menginjak-injak demokrasi. Jika kecurangan dianggap biasa dalam berkompetisi maka rakyat menjadi tidak percaya. Rakyat membaca bahwa permainan itu dilakukan demi keuntungan pemilik modal bersama dengan teman kolaborasinya
Aksi-aksi jalanan yang masif itulah yang disebut people power. Keberadaan “pressure group” atau “pressure mass” adalah bagian demokrasi yang dibenarkan oleh konstitusi di manapun. Tidak terkecuali Indonesia. Turunnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto adalah akibat dari “pressure” yang bernama people power. Diawali ketidakpedulian Soekarno dan Soeharto atas aspirasi rakyatnya.
Kini Presiden Jokowi termasuk Presiden yang bebal. Dua periode kepemimpinannya abai pada aspirasi rakyat. Ia lebih mendengar “inner circle” oligarki. Yaitu kelompok penguasa yang mengitari keseharian kekuasaannya. Ada tokoh politik, pimpinan partai politik atau pelaku bisnis. Taipan penguasa ekonomi Indonesia.
Presiden Jokowi yang dikelilingi oligarki tidak akan turun oleh proses demokrasi terekayasa. Tetapi oleh people power. Sebagai proses dari demokrasi alami. Demokrasi yang bersandar pada rasa keadilan dan rasa ketertindasan rakyat itu sendiri. Sedikit keputusasaan. Rakyat yang terpaksa harus berontak dan melawan.
People power adalah proses untuk mendesak Presiden Jokowi mundur atau mendesak DPR dan MPR untuk menurunkan Presiden. Indonesia memberi ruang melalui Kontitusi dan aturan hukum lainnya untuk itu. Presiden yang sudah tidak mampu atau melakukan perbuatan tercela harus diberhentikan.