NUIM HIDAYAT

Perdamaian Dunia: Ketenangan Jiwa Pemimpin

Di tanah air, kita juga bisa meneropong pemimpin yang mempunyai jiwa Firaun. Pemimpin yang membunuh ratusan/ribuan orang di Jawa Barat, pemimpin yang ingin diangkat sebagai pemimpin seumur hidup, pemimpin yang suka mengobarkan perang kita bisa menilainya. Semoga Allah SWT memaafkan kesalahan-kesalahan para pemimpin kita yang mau bertobat karena kesalahannya.

Pemimpin yang berjiwa Firaun adalah pemimpin yang tidak tenang jiwanya. Pemimpin yang menuruti hawa nafsu daripada akalnya. Pemimpin yang jarang mendekat dengan Tuhannya (shalat).

Pemimpin ini menganggap dirinya sebagai tuhan. Ia tidak percaya Tuhan atau tipis kepercayaannya kepada Tuhan. Ia menganggap dirinya adalah segalanya. Ia bisa memerintah apapun kepada anak buahnya: siapa yang harus dibunuh, siapa yang harus dipenjara, siapa yang harus dinaikkan jabatan, siapa yang harus dipuji dan siapa yang harus dicela.

Baik buruk ditentukan oleh syahwatnya. Maka jangan heran pemimpin yang berjiwa Firaun ini akan melampiaskan syahwat kepada siapa saja yang diingininya. Tidak ada halal haram bagi dirinya. Yang ada adalah enak atau enggak sesuatu itu bagi dirinya.

Maka jangan heran, pemimpin yang berjiwa Firaun di negeri kita dulu bersekutu dengan PKI. PKI sebenarnya bukan tidak bertuhan. Komunis bertuhan, Tuhannya Iblis. Iblis yang rakus darah manusia. Iblis yang egois, bahagia untuk dirinya sendiri, meskipun banyak orang menderita. Iblis yang sombong, diri dan kelompoknya terhebat, tidak ada yang lebih hebat dari dirinya. Iblis yang tidak peduli neraka, yang penting dirinya puas, yang penting dirinya bahagia, meski banyak orang celaka karena dirinya.

Islam dan Kepemimpinan

Al-Qur’an memberikan teladan pemimpin, adalah para Rasul dan Nabi. Mereka adalah para pemimpin yang menjadi teladan bagi rakyatnya. Mereka laksana para cendekiawan yang terjun ke masyarakatnya, melihat persoalan di masyarakatnya dan berusaha sekuat mungkin mengatasi masalahnya. Bukan cendekiawan yang puas mengajar di kampus, tidak peduli masalah di masyarakat dan bangsanya.

Para Nabi adalah mereka yang berani melawan pemimpin yang zalim di zamannya. Nabi Ibrahim melawan Namrudz, Nabi Musa melawan Firaun, Nabi Isa melawan ‘penguasa Romawi’ dan pemimpin Yahudi serta Nabi Muhammad melawan para pemimpin kafir Quraisy.

Sudah menjadi sunnatullah, pemimpin akan melawan ‘pemimpin’. Karena yang bisa mengritik pemimpin dengan tajam dan tepat hanyalah mereka yang berkelas pemimpin. Kelas pengikut biasanya kritikannya tidak menusuk hati sang pemimpin. Maka jangan heran dalam sejarah Orde Lama, Partai Masyumi (dan PSI) dibubarkan serta tokoh-tokohnya dipenjara. Karena tokoh-tokoh Islam Masyumi adalah para pemimpin yang tahu ‘kebusukan pemimpin negara’ saat itu.

Pemimpin dalam Islam sebelum memimpin masyarakat, ia harus bisa memimpin dirinya sendiri. Ia harus menata dirinya untuk maksimal taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan RasulNya dilarang jadi pemimpin dalam Islam. Bila ia sendiri suka bermaksiyat kepada Allah, maka ia akan membuat sistem, mengajak pejabat dan rakyatnya untuk bermaksiyat pula.

Bila ia telah sanggup menata dirinya, makai ia akan bisa menata keluarganya. Selanjutnya ia bisa menata masyarakat, bangsanya bahkan dunia.

Jiwa kepemimpinan memang tidak dimiliki semua orang. Sebagaimana Allah memberikan berbagai macam keahlian pada manusia di dunia ini. Ada yang ahli memimpin, ada yang ahli mengobati, ada yang ahli pidato, ada yang ahli menulis dan lain-lain.

Al-Qur’an menyatakan, “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, aka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.” (QS al Lail 1-13)

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button