OPINI

Politik itu Kotor?

Islam dan Siyasah, tulis Muhammad Sayid Ahmad Al-Wakil dalam buku berjudul “Islam antara Kebodohan Umatnya dan Tipudaya Musuh-musuhnya”.

هذا الدين بين جهل أبنائه و كيد اعدائه

Politik itu kotor, sarat dengan rekayasa keji, kebohongan, pemalsuan, kemunafikan dan tipudaya.

Kawan bisa jadi lawan dan tak jarang untuk memenuhi syahwat politiknya, ia tak segan memperlakukan lawan politik secara sadis dan kejam bahkan bila perlu dikorbankan demi kepentingan politik sesaat.

Ironinya, ketika masing-masing pihak yang berseteru merasa terakomodasi kepentingannya maka terjadi kompromi, lalu dilegitimasi dengan sebuah ungkapan bahwa politik adalah seni mengkompromikan berbagai kepentingan.

Disisi lain umat terpecah belah gara-gara politik, lalu muncul suara-suara bathil yang menghimbau umat Islam untuk segera menjauhkan diri dari politik.

Persepsi negatif tentang politik seperti ini bukanlah Politik Islam, bahkan menurut Syeikh Al-Wakil ini adalah jarimah, yakni sebuah kejahatan yang harus dibasmi.

Dampak dari kesalahpahaman tentang hubungan Islam dan Politik, berakibat diperlakukannya agama sebagai komoditas politik, hanya untuk kepentingan panen raya di musim pemilu.

Sesudah itu agama kembali ditempatkan dipojok-pojok masjid untuk urusan nikah talaq, rujuk, warisan, infaq dan sodaqoh. Sementara politik dibiarkan berada diluar masjid dan menjadi barang asing yang steriil dari nilai-nilai ilahiyah, bahkan tabu untuk diikut sertakan dalam obrolan di masjid.

Pemisahan antara Islam dan politik, antara masjid dan istana, antara negara dan agama adalah buah pahit dari paham sekularisme warisan politik Kolonialisme yang harus segera diakhiri. Karena pemikiran ini sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku umat, hampir diseluruh sektor kehidupannya.

Diatas tikar sajadah dia sujud dengan khusyu’ diiringi deraian air mata saat menadahkan tangan berdoa dan berdzikir. Tetapi ketika ia berada di tengah pasar, di lingkungan pendidikan, di tempat ia bekerja, bahkan di tengah-tengah kehidupan keluarga sekalipun hampir tak tampak jelas tanda-tanda sujudnya kepada Allah.

Izzat Al-Khayyath dalam bukunya An-Nidzam As-Siyasi Fil Islam menuturkan bahwa paradigma politik Islam sangat berbeda dengan yang difahami dan dipraktekkan saat ini. Paradigma Politik Islam adalah pentadbiran dan penataan hidup, pengkhidmatan dan pelayanan publik, dalam segala persoalan hidup yang dihadapi.

Politik Islam adalah kerahmatan yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Maka menurut Al- Khayyath, Tathbiq asy-Syari’ah merupakan solusi permasalahan umat seluruhnya.

Oleh karena itu Tathbiq asy-Syari’ah menjadi kewajiban, tugas dan tanggung jawab setiap muslim dan muslimah untuk ditegakkan dan diperjuangkan, terutama oleh para wakil rakyat yang diberi amanah menempati kursi-kursi empuk dalam ruang sidang gedung parlemen.

Tathbiq Syari’ah atau Penerapan Syari’at ini harus dimulai dari diri sendiri, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat luas, tanpa harus menunggu suara keluar dari gedung Perwakilan Rakyat.

Hal ini sejalan dengan misi risalah yang diemban oleh setiap muslim, sebagai Hamlu Risalah ad-Da’wah dalam rangka meneladani pemimpin panutan kita, Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau adalah Pengemban Utama Risalah Da’wah, dan Beliau adalah seorang Panglima Perang, Kepala Negara, Politisi, dan Diplomat.

Namun jangan lupa, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah juga sebagai seorang kepala keluarga, yang telah berhasil membangun rumah tangganya Ummahatul Mu’minin yang kemudian menjadi panutan wanita-wanita Shahabiyaat Dari rahim merekalah lahirnya para pejuang sepanjang masa, mujahidin dan mujahidaat .

Wallahu a’lam bish-shawaab

Muhammad Abbas Aula

Artikel Terkait

Back to top button