Ramadhan dan Pentingnya Tasawuf

Ramadhan adalah bulan pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs). Bulan yang melatih kaum Muslim agar menghindar dari perbuatan haram dan perbuatan halal (mubah) yang berlebihan. Bulan yang diisi dengan banyak aktivitas ibadah, shalat wajib/sunnah, membaca Al-Qur’an bersedekah dan lain-lain. Takwa yang merupakan tujuan puasa, tidak bisa diraih tanpa pembersihan jiwa.
Ilmu tasawuf adalah ilmu pembersihan jiwa. Ilmu yang mendorong manusia untuk dekat kepada Allah. Mendekatkan diri kepada Allah, tidak bisa diperoleh tanpa jiwa yang bersih. Dengan dekat kepada Allah maka kaum Muslim akan merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Di samping itu juga Allah akan memberikan kemenangan.
Kisah kemenangan Shalahuddin al Ayubi yang terkenal, diantaranya adalah menjaga pasukannya agar terus taat kepada Allah. Yang ditakutkan Shalahuddin saat itu bukan pasukannya sakit, tapi bila ada pasukannya yang melakukan dosa besar. Shalahuddin senantiasa mendorong pasukannya untuk shalat wajib, shalat malam (sunnah), berdzikir dan ibadah-ibadah lain yang mendekatkan diri pada Allah. Pahlawan Islam ini takut bila ada pasukannya yang menyeleweng dari syariat Islam, maka mereka akan kalah.
Ada sebagian kelompok Islam yang tidak suka tasawuf. Mereka menganggap bahwa tasawuf bisa menyeleweng dari Islam. Mereka mencontohkan tasawuf al Hallaj dan Syekh Siti Jenar.
Maka ulama besar Buya Hamka menjelaskan tasawuf ini dengan sangat menarik. Ia menceritakan perkembangan ilmu tasawuf dari masa Rasulullah Saw, sahabat hingga masa modern. Menurut Hamka, tasawuf berasal dari Rasulullah Saw. Ilmu ini dipraktekkan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama setelahnya. Imam Junaid al Baghdadi dan Imam Ghazali berhasil menjadikan ilmu tasawuf ini tersusun dan diikuti oleh ulama-ulama setelahnya.
Maka kita temukan di masa lalu, para pejuang Islam banyak yang mendalami tasawuf (sufi). Pangeran Diponegoro, pahlawan Islam, mempunyai semangat jihad yang tinggi melawan pasukan Belanda, tetapi ia seorang yang dekat dengan Allah. Hasan al Bana, seorang mujahid dan mujtahid dari Mesir, pendiri Ikhwanul Muslimin, terkenal dengan kesufiannya. Ia meninggalkan warisan dzikir yang kini banyak dipraktekkan jamaahnya, al Ma’tsurat.
Tasawuf bukan berarti menyendiri shalat terus menerus, meninggalkan dunia. Tasawuf adalah melihat dunia ini bukan tujuan. Tasawuf adalah berpedoman pada nasihat Rasulullah, dunia adalah tempat cocok tanam untuk akhirat. Maka, ketika suatu hari khalifah Umar bin Khattab melihat seorang laki-laki terus menerus shalat dan berdiam diri di masjid, Umar marah. Umar tanya siapa yang membiayai laki-laki ini. Orang-orang disitu menjawab bahwa mereka yang membiayai. Umar menyatakan bahwa orang-orang yang membiayai laki-laki itu lebih mulia daripada laki-laki yang suka berdiam di masjid itu.
Tasawuf membentuk perilaku manusia yang terpuji, berakhlakul karimah. Maka ketika tasawuf hilang dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan lain-lain, menjadi rusaklah kehidupan.
Dalam bidang politik misalnya, ketika tasawuf hilang dari sana, maka politik akhirnya hanya sarana untuk meraih jabatan dan kekayaan (harta). Kerakusan jabatan dan harta terjadi, seperti kita lihat di masa kini. Para pejabat kebanyakan menggunakan kekayaan negara untuk kemewahan pribadi, keluarga dan partainya. Rakyat hanya mendapat sisanya. Melihat rakyat Indonesia yang jumlah penduduk miskinnya 110 juta (menurut Bank Dunia), para pejabat kurang peduli. Mereka tetap ingin gajinya besar (100 juta lebih) dan kroninya makmur.
Kondisi Indonesia di masa kini, pernah dikeluhkan oleh ulama besar Mohammad Natsir. Menurut Natsir, dulu sebelum Merdeka rakyat berjuang tanpa perhitungan (ikhlash). Mereka menyerahkan jiwa, raga dan harta untuk kemerdekaan tanah air. Tapi setelah merdeka, rakyat yang jadi pejabat itu kemudian suka menghitung-hitung. Mereka ingin pengorbanan yang telah mereka lakukan dibayar dengan jabatan atau harta yang cukup.
Politik akhirnya memuakkan. Karena kekuasaan diraih lewat pemilu dengan menebar uang. Siapa yang punya uang paling banyak, itulah yang menang. Rakyat Indonesia yang kebanyakan masih menengah ke bawah (miskin), dimanfaatkan suaranya dengan jalan pemberian uang/sembako.
Kini jarang ditemui lagi, para pejabat yang berani hidup sederhana (miskin), seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, Hamka, Sjafruddin Prawiranegara dan lain-lain. Para tokoh ini mendahulukan kepentingan rakyat daripada dirinya. Ia ingin melihat rakyat makmur, tercukupi kebutuhan pangan, papan, pakaian dan lain-lain lebih dulu dari dirinya. Maka jangan heran mereka tidak punya rumah sendiri ketika menjadi pejabat negara.