Terjebak Gelar
“Niat adalah tujuan seseorang dengan hatinya terhadap sesuatu yang dia kehendaki untuk dikerjakannya” (Syekh Sulaiman al Asyqar mengutip al Qurafi)
Untuk menjayakan sebuah bangsa, maka para ahli sepakat bahwa lewat pendidikan lah jalan utamanya. Bukan lewat ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Karena bangsa terdiri dari masyarakat, sedangkan mayarakat terdiri dari individu-individu, maka perubahan bangsa dimulai dengan mengubah individu itu. Perubahan individu adalah dimulai dengan mengubah akal dan jiwanya. Perubahan akal dan jiwa, tidak lain tidak bukan mesti lewat pendidikan. Baik formal maupun non formal.
Semakin maju dan benar pendidikan sebuah bangsa, maka bangsa itu akan mengalami kejayaan. Semakin terpuruk dan salah dalam arah pendidikan bangsa, maka bangsa itu akan terus mengalami terpurukan. Mengalami lingkaran setan masalah yang membelit, mulai dari kerakusan ekonomi, kerakusan jabatan, kerakusan politik dan berbagai kerakusan-kerakusan duniawi lainnya.
Bangsa kita, karena kini terjebak dalam demokrasi liberal –dalam pemilihan presiden gubernur, bupati dll—kita lihat kerakusan atau perebutan harta, politik dan jabatan menyatu seperti ‘permainan setan’. Sebagian besar mereka yang memperebutkan jabatan itu, bukan bertujuan untuk memakmurkan rakyat, tapi hanya untuk sekedar rebutan untuk memakmurkan diri, keluarga dan partainya. Rakyat menjadi sisa perhatian setelah kesejahteraan diri, keluarga dan partainya tercapai dalam tingkat yang maksimum. Rakyat hampir-hampir tidak mendapat keteladanan dalam ‘pendidikan politik’ saat ini.
Di bidang pendidikan, tidak kalah gawatnya. Para pejabat yang mengurusi pendidikan pun tidak menunjukkan teladannya. Bantuan-bantuan dari pemerintah, apakah lewat BOS, BOM atau bantuan Sertifikasi Guru/Dosen sampai dengan sekarang, masih menjadi lahan empuk bagi para pejabat untuk minta komisi. Baik dengan lafal terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Baik dengan paksaan maupun sekarela.
Bagaimana dengan guru atau dosen? Mayoritas setali dua uang. Jarang guru yang memperhatikan betul-betul tingkah laku murid-muridnya. Dosen kebanyakan hanya mengajar mata kuliahnya semata, setelah itu pulang. Mahasiswa atau murid-muridnya bergaul seks bebas, malas dalam belajar, bodoh, tidak menjadi perhatian. Mayoritas yang diukur adalah keberhasilan murid dalam menjawab soal belaka. Otak diisi –entah isinya benar atau tidak—tapi jiwanya dibiarkan merana. Mahasiswa atau murid yang harus mencari sendiri pergaulan, mencari teman, berlatih organisasi dan lain-lain. Sangat jarang guru yang perhatian dalam hal ini. Padahal aktivitas-ativitas itulah nanti yang banyak menentukan masa depannya.
Karena pendidikan kita, masih didominasi dengan transfer pengetahuan semata, maka kebanyakan intansi pendidikan gagal mencetak murid atau mahasiswa sebagaimana yang diharapkan. Mereka-mereka yang berhasil mayoritas didapat dari pendidikan keluarga atau di luar instansi pendidikan resmi. Mereka berhasil karena mendapatkan pendidikan-pendidikan non formal.
Ukuran transfer pengetahuan semata inilah yang menyebabkan gelar disematkan. Gelar sarjana, master, doktor atau profesor. Dan ketika orang sudah bergelar doktor atau profesor, biasanya, dia merasa sudah ahli segalanya. Dia ‘berhenti belajar’. Seolah-olah tidak ada yang lebih tinggi dari dia dalam ilmunya itu. Dia kemudian melihat bahwa orang yang bergelar lebih rendah dari dirinya atau yang tidak punya gelar, seolah-olah derajatnya lebih rendah dari dirinya.
Pemerintah lewat Mendiknas tahun 2010 menargetkan dapat melahirkan 5.000 doktor per tahun sehingga diharapkan Indonesia di tahun 2014 memiliki sedikitnya 50.000 doktor. Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional, Prof Djoko Santoso, (27/8/2010) di Bogor mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki Kemdiknas, Indonesia baru mampu melahirkan sebanyak 3.500 doktor per tahun. Rinciannya sebanyak 2.500 doktor merupakan lulusan kampus-kampus di Tanah Air, sedangkan 1.000 doktor lainnya lulusan berbagai perguruan tinggi di mancanegara. “Ke de pan, kami menargetkan mampu melahirkan 5.000 doktor per tahun,” ujar Prof Dr Djoko Santoso. (Lihat www.republika.co.id, 27 Agustus 2010)
Pejabat-pejabat kini banyak juga yang berburu gelar doktor dan banyak yang disertasinya dibuat orang lain. Majalah Tempo beberapa minggu lalu, membuat investigasi tentang beberapa tokoh yang diberi gelar doktor honoris causa, padahal kurang layak. Nurdin Halid, Puan Maharini, Megawati, dan Muhaimin Iskandar diantara beberapa tokoh yang bergelar honoris causa yang disorot masyarakat.
Seolah-olah bila negeri ini banyak doktor, maka masalah di negeri ini akan selesai. Kwik Kian Gie, ekonom terkenal, pernah menulis sebuah artikel, kenapa begitu banyak masalah ekonomi di negeri ini, padahal ribuan orang yang bergelar doktor di negeri ini? “Masalahnya adalah tidak adanya moral/akhlak,”kata Kwik. Prof Naquib al Attas, Guru Besar Pemikiran Islam, menyebut tidak adanya ilmu yang benar dan adab (akhlak mulia) menyebabkan kerusakan umat atau bangsa.