Tiga Panglima Syahid di Perang Mu’tah
Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke-18 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.
Pemicu peperangan ini adalah terbunuhnya Al Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah Saw kepada Raja Bashra. Tiga ribu orang tentara berkumpul usai Rasulullah Saw menyerukan supaya kaum muslimin agar berangkat menuju Syam.
Rasulullah Saw sendiri tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian, perang ini bukan ghazwah, melainkan sariyah. Namun demikian, hampir semua ulama sirah menamakannya ghazwah karena banyaknya jumlah kaum Muslimin yang berangkat dan arti penting yang dikandungnya.
Sebelum berangkat, Rasulullah Saw berpesan kepada mereka, “Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.” Selanjutnya, Nabi Saw mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya disana, mereka menyerang dengan meminta pertolongan kepada Allah.
Setelah kaum Muslimin bergerak meningalkan Madinah, musuh pun mendengar keberangkatan mereka. Mereka kemudian mempersiapkan pasukan yang jauh lebih besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraklius mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara Romawi, sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan seratus tentara yang terdiri atas kabilah Lakham, Judzan, Qain, dan Bahra’.
Mendengar berita ini, kaum Muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang di antaranya berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Saw guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahan sesuatu yang harus kita lakukan.” Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:
“Hai saudara-saudara, mengapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itulah, marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan: menang atu mati syahid.”
Lalu pasukan kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum Muslimin. Zaid bin Haritsah bersama kaum Muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung tombak musuh. Ja’far kemudian mengambil alih panji peperangan dan maju menerjang musuh dengan berani. Di tengah sengitnya pertempuran, ia turun dari kudanya lalu membunuh, melesat, menerjang pasukan Romawi seraya bersyair,
“Alangkah dekatnya surga!
Harumnya semerbak dan segarnya minuman.
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir nun jauh nasabnya
Pastilah aku yang memeranginya.”
Ia terus maju bertempur sampai tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan. Semuanya di bagian depan. Panji peperangan kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia maju memimpin pertempuran seraya bermadah,
“Wahai jiwa, engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa.
Musuh-musuh telah maju ke medan laga.
Tidakkah engkau rindukan surga.
Telah lama engkau hidup tenang
Engkau hanya setetes air yang hina.”
Ia terus maju bertempur sampai gugur menjadi syahid. Kaum Muslimin kemudian menyepakati Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Ia kemudian menggempur musuh hingga berhasil memukul mundur. Pada saat itulah, Khalid mengambil langkah strategi menarik tentaranya ke Madinah.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita gugurnya tiga orang panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada mereka. Beliau kemudian bersabda, “Zaid memegang panji, kemudian gugur. Panji itu diambil oleh Ja’far dan ia pun gugur. Panji itu diambil oleh Ibnu Rawahah dan ia pun gugur…” Saat itu, beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan sabdanya, “… Akhirnya panji itu diambil oleh ‘Pedang Allah’ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniakan kemenangan kepada mereka (kaum Muslimin).”
Menjelang masuk kota Madinah, pasukan kaum Muslimin disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda, “Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikanlah kepadaku anak Ja’far!” Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja’far dan digendong oleh Nabi Saw.
Orang-orang meneriaki pasukan dengan ucapan, “Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah.” Akan tetapi, Rasulullah saw membantah mereka dengan bersabda, “Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mundur untuk menyerang balik, insya Allah.” Wallahu a’lam.
(Shodiq Ramadhan)