DAERAH

Tim ACT dan Kisah Jogja Tempo Dulu

Jogja (SI Online) – Rabu sore 6 Juni 2018, ketika Ramadhan telah memasuki sepuluh hari terakhir, Relawan ACT bergegas menuju pusat keramaian Kota Yogyakarta. Lengkap dengan ditemani tiga box kardus besar yang berisi 150 menu buka puasa persembahan dari Hajj Chicken.

Di perjalanan, Tim ACT bersama relawan MRI berusaha menembus kemacetan Kota Yogyakarta. Sayup-sayup matahari menyorotkan sinarnya yang semakin rendah menambah kekhawatiran kalau-kalau sebelum tempat tujuan adzan Magrib keburu berkumandang.

Ya seperti itulah gambaran keseharian Tim ACT DIY bersama dengan Relawan MRI, berburu keberkahan Ramadhan dengan melakukan aksi terbaik, berbagi keberkahan bersama orang-orang yang membutuhkan.

Akhirnya, ketika dering jam telah menunjukkan pukul 17:08 WIB, tim tiba di lokasi yang dituju. Tim kemudian bergegas menurunkan box-box kardus berisi makanan dari mobil ACT. Hanya dengan hitungan menit, ketika samar-samar dari beberapa meter mulai banyak terdengar bisikan dan kata pelan ada “takjil-gratis, ada takjil gratis”.

Tak butuh waktu lama, lokasi Humanity Foodtruck ramai diserbu kerumunan warga, mulai dari bapak-bapak, Ibu-ibu, baik tua maupun muda telah berdesakan menunggu pembagian nasi kotak persembahan dari Hajj Chicken. Hajj Chicken sendiri merupakan mitra ACT DIY dalam program Shopping Charity untuk Suriah.

Demikianah, Rabu (06/06/2018) lalu, Tim ACT dengan partner media Radio Kota Perak, mengadakan kegiatan Humanity Foodtruck di Nol Kilometer Yogyakarta. Lokasi strategis Nol Kilometer sengaja dipilih karena di tempat ini menyimpan banyak sejarah Yogyakarta, di samping kiri terdapat monumen perjuangan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang mengisahkan perjuangan warga Yogyakarta dalam menggempur pasukan Belanda. Di samping kanan tepat berdiri kokoh Gedung Agung yang dulu pernah menjadi Ibukota Indonesia ketika kota Jakarta dalam masa pendudukan Belanda.

Tetapi di balik megahnya gedung-gedung bersejarah tersebut, nyatanya masih banyak ditemui sorot-sorot mata yang seakan memberi isyarat kepada kita untuk lebih peduli, memanggil nurani kita untuk menjadi manusia-manusia yang ikhlas dalam menyisihkan sebagian harta maupun tenaga demi mengentas permasalahan kemanusiaan. Sorot-sorot mata tersebut hadir dari para tukang becak, anak-anak kecil yang tidak bisa lanjut sekolah dan terpaksa harus berjualan koran di persimpangan jalan, serta para pemulung menggantungkan rizekinya dari tong sampah yang berderet sepanjang jalan Malioboro.

Walaupun dengan segala dinamikanya, Jogja adalah kota Istimewa, bagi kami keistimewaan itu hadir dikala orang-orangnya yang berlaku arif, senyum dan sapaan ramah itu tak jarang dijumpai sepanjang jalan ketika orang-orang sedang berpapasan.

Salah satunya ialah Pak Ismadi (65) walaupun diusianya yang sudah tidak muda lagi, ia tetap giat mencari nafkah untuk keluarga dan anak-anaknya lewat profesi sebagai pengayuh becak sekitaran Malioboro, di sela-sela kesibukannya itulah ketika sore itu adzan Magrib hanya berjarak hitungan menit, sambil memegangi satu porsi menu buka puasa, ia mulai bertutur tentang kehidupan kepada tim ACT.

”Kita hidup di dunia ini itu hanya sementara, yang berkuasa atas semua itu hanya Allah, jadilah orang yang baik agar nanti tidak merugi,” ujarnya sambil meminta doa kepada kami semoga lekas diberi kesembuhan atas sakit lambung yang dideritanya selama ini.

Tak lupa dikala senja sore itu kami hampiri kakek-kakek yang duduk di sudut jalan tepat berhadapan dengan monumen bersejarah Jogja. Mbah Sukijo (85), dari penuturan kisahnya kakek ini boleh dibilang merupakan salah satu saksi sejarah ketika Belanda dan Jepang menyerbu Yogyakarta. Bahkan semasa hidupnya ia sempat mendapati tiga kali masa Kesultanan Yogyakarta. Maklum di usianya yang sudah senja itu penglihatan dan pendengarannya sudah tidak lagi mawas, sehingga kami Tim ACT harus mengulang pertanyaan beberapa kali untuk menanyakan kondisi dan kesehariannya.

Mbah Sukijo pernah berkisah ketika Yogyakarta dimasuki tentara Dai Nippon Jepang, ketika itu Indonesia belum merdeka seperti saat ini. Banyak dari teman-temannya yang dibawa truk tentara Jepang, kemudian setelah itu teman-temannya tidak pernah lagi kembali. Mbah Sukijo dapat dikatakan orang yang beruntung. Dari pemaparan kisahnya ketika itu ia dan kelima kawannya pernah didatangi oleh tentara Jepang, dari semua kawannya yang dibawa truk tentara Jepang hanya dia yang tidak dibawa, lambat laun baru diketahui dari kabar bahwa kelima kawannya tersebut telah terbunuh.

Pertemuan hangat itu pun akhirnya berakhir ketika matahari telah menyembunyikan dirinya, sambil memandangi kakek ini makan dengan lahapnya, pelan-pelan kami izin pamit untuk menunaikan ibadah shalat magrib. Sore itu Jogja terasa berbeda, banyak hikmah dan pelajaran hidup yang dapat dipetik. Di setiap sisinya Jogja menyimpan guratan sejarah yang harus terus dipelajari oleh genarasi-generasi muda hari ini.

Begitulah keseharian kisah perjalan Humanity Foodtruck di kota Istimewa ini, semoga semakin banyak masyarakat terbantukan dari program berbagi keberkahan ini dan semoga lebih banyak lagi masyarakat menjadi lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan, baik tingkat lokal, nasional maupun global.

Rep: Nasrudin (ACT-DIY)
Red: Shodiq Ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button