UU Ciptaker Disahkan, MUI Bentuk Tim Khusus
Jakarta (SI Online) – DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10) petang. Enam fraksi menyatakan setuju, satu partai menyatakan setuju dengan catatan, dan dua partai tidak setuju.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hukum dan Perundang-undangan (Kumdang) Buya Basri Bermanda menyampaikan, saat ini MUI masih mengkaji UU yang baru disahkan tersebut. MUI juga masih menunggu UU yang resmi dari DPR untuk kemudian dikaji secara mendalam.
“MUI melalui Komisi Kumdang akan memperlajari dulu keputusan DPR RI ini, yang menetapkannya sebagai Undang-Undang. Nanti kalau misalnya banyak hal yang kita usulkan tidak diakomodir, maka akan ada upaya lain, misalnya melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata dia, Selasa (6/7) di Jakarta.
Dikatakannya, hasil pembacaan sepintas pasca UU ini disahkan, beberapa masukan MUI sudah diakomodir, misalnya terkait koperasi Syariah. MUI sendiri sebenarnya telah menyampaikan DIM terkait RUU Omnibus Law ini kepada DPR RI. Namun untuk memastikan bahan kajian, Komisi Kumdang masih menunggu UU resmi.
“Tim khusus MUI akan mengkaji dengan seksama masalah Undang-Undang ini untuk menentukan mana yang diterima dan mana yang tidak. Misalnya mengenai tenaga kerja dan cuti segala macam masih perdebatan habis, termasuk terkait produk halal,” katanya.
Sementara itu, Wasekjen MUI Bidang Kumdang MUI Rofiqul Umam Ahmad menyampaikan, Komisi Kumdang saat ini sedang berusaha mendapatkan UU Cipta Kerja yang resmi dari DPR RI. UU resmi ini diperlukan sehingga hasil kajian nantinya bisa sesuai dan tepat sasaran.
Menurutnya, UU Cipta Kerja yang dibahas di beberapa media masih mengacu pada rancangan (RUU). Itu terbukti dari beberapa media acuannya melebihi seribu halaman seperti jumlah halaman RUU. Segelintir media ada yang acuannya 905 halaman dan ini disinyalir MUI berasal dari UU yang resmi.
“Kami akan mengontak DPR RI terlebih dahulu untuk mendapatkan UU Cipta Kerja yang resmi, kemudian dilakukan kajian. Media berita online, rata-rata masih mengacu kepada RUU-nya, sehingga kemungkinan ada ketidaktepatan karena pembahasan bisa bergeser,” ujarnya.
sumber: mui.or.id