Persis Sayangkan Pembubaran FPI
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Dr. Jeje Zaenudin urun tanggapan terkait pembubaran dan penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI) melalui surat keputusan bersama (SKB). SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Pertama, kita tentu sangat menyesalkan dan prihatin atas sikap pemerintah dalam memperlakukan Ormas yang dinilainya melanggar hukum dengan cara langsung membubarkannya tanpa proses peradilan ataupun dialog terlebih dahulu. Cara-cara seperti ini tentu sangat berpotensi besar terjadi penzaliman terhadap Ormas yang dibubarkan dan berpotensi membunuh sistem demokrasi itu sendiri,” kata Ustaz Jeje dalam keterangan tertulisnya yang diterima Suara Islam Online, Kamis (31/12).
Lebih lanjut, menurut Ustaz Jeje, pembubaran atau lebih tepatnya adalah pelarangan dan pembekuan semua aktivitas FPI, dikhawatirkan ditafsirkan bernuansa ‘intimidasi’ pemerintah terhadap kelompok-kelompok kritis yang beroposisi terhadap kebijakan pemerintah. Kenapa demikian?
“Sebab dalam saat yang berdekatan dengan peristiwa tewasnya enam orang pengawal Habib Riziq Syihab (HRS) di tangan aparat dan juga kondisi HRS sebagai pemimpin tertinggi FPI sedang ditahan. Begitu juga beberapa pimpinan utamanya sedang dalam proses pemeriksaan kepolisian,” katanya.
Kedua, jelas Ustaz Jeje, bagaimanapun keberadaan Ormas itu dilindungi oleh hukum dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi, mengayomi dan membinanya agar konstruktif, bukan dengan cara bubar membubarkan begitu saja. Kecuali ormas-ormas yang mengusung ideologi yang dengan tegas dilarang keberadaannya oleh undang-undang di Indonesia seperti ideologi komunisme dan sejenisnya.
“Ketiga, kita semua sebagai warga negara yang baik tentu wajib sepakat menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadaban berbangsa-bernegara di atas kepentingan kelompok, kepentingan politik aliran, bahkan di atas kepentingan kekuasaan itu sendiri, demi terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45,” tuturnya.
Pemahaman, penafsiran, dan penegakan hukum, ungkap Ustaz Jeje, tentu bukan monopoli pemerintah apalagi jika dimaksudkan untuk membungkam kelompok kritis yang dipandang mengganggu kekuasaan. Tetapi untuk terciptanya keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya.
Karenanya, pemerintah juga berkewajiban membina dan memberi contoh tauladan kepada masyarakat dalam menciptakan kultur hukum yang kuat, yaitu budaya dan adab ketaatan pada hukum dan perundangan-undangan yang berlaku, sehingga negara tidak hanya memandang masyarakatnya, atau Ormas saja yang dijadikan objek penegakan hukum.
“Tetapi masyarakat juga harus menjadi cerdas, ikut menjadi bagian pengawalan tegaknya hukum dengan membangun budaya taat pada aturan-aturan kehidupan berbangsa dan bernegara guna terciptanya kedamaian, dan ketentraman bersama,” ujarnya.
red: adhila