Persoalan Jalan Kemal Attaturk
Persoalan nama Jalan Kemal Attaturk kini mencuat ke permukaan dan menimbulkan polemik pro dan kontra. Usut punya usut ternyata, persoalan ini timbul sebagai akibat dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno, Proklamator dan Presiden RI.
Permintaan itu dikabulkan Pemerintah Turki. Sebagai balasannya, Pemerintah Turki juga meminta hal yang sama. Agar ada jalan namanya Kemal Attaturk, tidak jauh-jauh dari Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Attaturk adalah tokoh kontroversial. Bukan saja di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri muslim yang lain. Kemal adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya. Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam dia bubarkan. Kemal “memisahkan” antara agama (Islam) dengan negara.
Ketika Kemal mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan. Turki yang mulai lemah baik dari segi militer maupun ekonomi dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya. Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana super mewah Topkapi di Istanbul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu.
Kehidupan Sultan dan bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno menjelang kita merdeka mengatakan, dalam suasana seperti itu tidak perlu lagi adanya pemisahan antara Islam dengan negara, sebab dalam kenyataannya Islam memang sudah “terpisah” dengan negara seperti ditunjukkan oleh perilaku pengusaha Kekhalifahan Turki itu.
Implikasi politik dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita. Kelompok “Nasionalis sekular” merasa senang dengan kehadiran Attaturk. Sebaliknya para tokoh “Nasionalis Islam” berada dalam kecemasan. Tahun-tahun 1920an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan “agama” dengan “negara”.
Polemik antara Sukarno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatarbelakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki. Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan “de filosofische grondslag” (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern.
Karena itu, kalau sekarang ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat kita terhadap Kemal Attaturk, hal itu memang wajar. Sebab, ketegangan pemikiran antara Islam dan Sekularisme dengan berbagai variannya, mulai dari yang moderat dan menerima Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali “negara khilafah” hingga kini tetap berlangsung di negeri kita. Walau intensitasnya, tentu tidak sekeras menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967.
Pelajaran Penting
Karena Pemerintah kita yang lebih dulu meminta Pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang “berbau” Belanda dengan nama Jalan Sukarno, maka wajar saja jika secara resiprokal, Turki meminta hal yang sama. Orang Turki nampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno.
Tetapi di negeri kita, nama Jalan Attaturk yang diminta Pemerintah Turki itu membuat pusing banyak orang. Bahkan kini berkembang banyak rumor Pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan Komunis: Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh Komunis yang pernah ada di dunia ini.