Pemilu 2024: Sistem Proporsional Tertutup atau Distrik Saja?
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyatakan kemungkinan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup jika gugatan terhadap sistem proporsional terbuka dikabulkan oleh MK.
Menurut Hasyim dahulu yang mengubah proporsional tertutup menjadi terbuka adalah MK, maka kini yang berhak menutup kembali harus MK.
Kegalauan mengenai sistem proporsional tertutup atau terbuka harus dijawab bukan dengan bolak balik seperti setrikaan. Jika sudah memahami bahwa sistem proporsional itu tidak demokratis, maka harus diubah menjadi sistem distrik.
Telah terbukti banyak kelemahan pada sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup.
Pertama, dengan sistem Pemilu proporsional tertutup maka partai menjadi penentu. Kader atau figur hanya menjadi pajangan. Vote getter muncul untuk mendulang suara dengan cara menipu pemilih.
Pada proporsional terbuka yang terjadi adalah ambivalensi. Pura-pura memilih orang, praktiknya tetap partai dominan. Pertarungan internal tidak sehat antarkader sangat dimungkinkan.
Kedua, sistem Pemilu proporsional menyebabkan muncul kedaulatan fraksi di lembaga legislatif. Peran personal anggota Dewan dibatasi bahkan dikendalikan. Karenanya sistem ini sulit atau minim menghasilkan anggota Dewan yang berkualitas dan kritis. Patuh pada arahan Fraksi adalah jalan aman.
Ketiga, berlaku Hak Recall (penarikan/penggantian) terutama pada proporsional tertutup. Partai dapat menarik anggota Dewan yang berseberangan dengan kebijakan Fraksi atau Partai.
Pada proporsional terbuka pola penggantian disiasati dengan pemecatan terlebih dahulu. Sistem ini memunculkan anggota Dewan yang penakut. Anggota yang senantiasa merasa terancam dan tersandera.
Keempat, membangun otoritarian. Anggota Dewan tergantung Fraksi dan Fraksi tergantung kemauan Partai. Sulit dipungkiri bahwa kebijakan Partai sangat tergantung pada peran dan keputusan Ketua Umum.
Jadi sistem ini secara tak sadar turut andil dalam menciptakan kepemimpinan yang bersifat otoriter.