Gen Z dan Kerja Kesukarelawanan
Setiap 5 Desember setiap tahunnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati Hari Sukarelawan Internasional (International Volunteer Day). Hari tersebut dicanangkan untuk menghormati peran para sukarelawan yang telah bekerja tanpa kenal lelah di berbagai bidang kehidupan dengan tidak mengharapkan balasan keuntungan (non-profit).
Peringatan Hari Sukarelawan Internasional tahun ini terasa makin relevan Ketika Charities Aid Foundation (CAF) asal Inggris merilis laporan World Giving Index 2024 Agustus silam. Ketika laporan ini dikeluarkan, tak sedikit publik di Indonesia bersorak bangga. Betapa tidak, nama Indonesia untuk ketujuh kalinya bertengger di puncak tangga sebagai negara yang paling dermawan sedunia dengan skor 74, mengalahkan Kenya di peringkat 2 (skor 63), Singapura (peringkat 3 skor 61), Gambia (peringkat 4 skor 61), dan Nigeria (peringkat 5 skor 60).
Oleh Charities Aid Foundation (CAF), organisasi amal berbasis di Inggris yang melakukan survei rutin tahunan tersebut, disebutkan bahwa ini adalah kali ketujuh Indonesia menempati posisi negara paling dermawan sejak menggeser Myanmar ada 2017. Sembilan dari 10 warga Indonesia mendonasikan uang mereka untuk kegiatan amal, sementara 6 dari 10 orang Indonesia menggunakan waktu mereka untuk kegiatan kesukarelawanan (volunteering).
Di dunia, lanjut CAF, saat ini tercatat lebih dari 4,3 miliar orang yang menyediakan waktunya untuk kerja kesukarelawanan. Angka itu cukup mengesankan karena angka itu merupakan 73% dari populasi orang dewasa di seluruh dunia.
Laporan itu sendiri merupakan hasil dari survei yang dilakukan tahun lalu, melibatkan 145.702 orang di 142 negara melalui Gallup’s World Poll. Kepada responden diberikan tiga pertanyaan kunci. Pertama, pernahkah mendonasikan uang untuk (kegiatan) amal? Kedua, pernahkah menolong orang asing atau seseorang yang tidak dikenal yang membutuhkan bantuan? Adapun pertanyaan ketiga, pernahkah meluangkan waktu untuk kegiatan kesukarelawanan bagi suatu organisasi?
Pertanyaan itu menunjukkan bahwa parameter kesukarelawanan menjadi satu kriteria penting disamping kedermawanan, yang oleh CAF Indonesia dinilai menempati peringkat teratas.
Untuk Indonesia, hasil survei menunjukkan, 66% responden dewasa menjawab mereka pernah menolong orang asing atau orang tak dikenal yang butuh bantuan. Sebanyak 90% mengaku pernah mendonasikan uang untuk kegiatan amal. Sementara terdapat 65% responden usia dewasa yang menyatakan mereka meluangkan waktu untuk kegiatan volunteering.
Gen Z dan Mitos Egois
Sebagai generasi yang lahir pada kurun 1997 – 2012 dengan usia antara 12 – 17 tahun, Gen Z menjadi elemen kritikal. Ini mengingat data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menyebutkan, populasi mereka pada 2023 mencapai 74,93 juta jiwa atau 27,94% populasi penduduk Indonesia. Artinya, 20 tahun mendatang generasi ini akan berusia 32 – 37 tahun dan menjadi motor penggerak pembangunan di dalam negeri.
Sebagai populasi usia produktif (15 – 64 tahun), jumlah mereka mendominasi dibandingkan populasi milenial (lahir antara 1981 – 1996) yang mencapai 69,38 juta jiwa atau 25,87% dari populasi. Berturut-turut setelahnya adalah Generasi X (kelahiran tahun 1965 – 1980) sebanyak 58,65 juta jiwa dan Baby Boomer (kelahiran 1946 – 1964) dengan populasi 31,01 juta jiwa.
Celakanya, selama ini Gen Z dituding memiliki stereotip karakter negatif. Sebut saja salah satunya punya kecemasan dan tingkat stres yang tinggi. Ini menjadikan mereka musuh produktivitas dan sifat kompetitif di dunia kerja. Mereka juga dianggap FOMO (fear of missing out), merasa kurang gaul, cemas dan merasa ketinggalan jika tidak mencoba tren yang ada di internet. Tak jarang pula mereka disebut sebagai generasi strawberry karena manja dan mudah mengeluh.
Peran Menjanjikan Gen Z dalam Kemanusiaan
Kecemasan akan kualitas generasi produktif belasan tahun ke depan tersebut wajar-wajar saja. Namun, publik kerap lupa bahwa di balik kekurangan mereka, Gen Z juga memiliki berbagai kelebihan yang dapat diberdayakan sebaik-baiknya.
Mereka dikenal melek teknologi dan kreatif. Gen Z juga lebih terbuka terhadap perbedaan dan senang mengekspresikan diri. Dan yang paling menonjol, Gen Z amat peduli terhadap sesama. Karakteristik ini bak modal besar yang amat menjanjikan khususnya bagi sektor sosial, filantropi, dan charity, termasuk dunia kemanusiaan (humanitarian).