Jiwa Berkorban

Ada satu kata yang popular dalam setiap hari Iduladha yaitu korban atau pengorbanan. Dalam setiap hari raya ini, umat Islam memang disunnahkan untuk berkorban. Apakah dengan sapi, kambing atau domba.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah tidak menerima darah atau daging hewan kurban itu, tapi yang diterima ketakwaan orang yang berkurban. Maka dalam berkurban dianjurkan untuk ikhlash agar diterima korbannya oleh Allah.
Korban atau pengorbanan memang penting dalam kehidupan. Sebagai ayah, kita berkorban dalam hidup kita untuk anak istri. Kita bekerja tiap hari tidak kenal lelah untuk mereka. Kita memperhatikan pendidikan anak-anak kita, dan kita berkorban untuknya agar mereka mendapatkan pendidikan terbaik. Untuk itu, kita rela kadang membayar mahal sekolah mereka.
Bila anda menjadi pemimpin, anda harus berani berkorban untuk anak buah. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang berani ‘makan terakhir’. Pemimpin yang berani menderita. Leiden is lijden. Maknanya ia ingin anak buahnya sejahtera dulu, sebelum dirinya sejahtera. Pemimpin yang dirinya sejahtera, sementara anak buahnya menderita bukanlah pemimpin yang baik.
Maka seorang pemimpin akan lebih meluangkan lebih banyak waktu daripada anak buahnya. Dia lebih banyak berfikir daripada anak buahnya. Lebih banyak merencanakan daripada anak buahnya. Bahkan mungkin lebih banyak bertindak daripada anak buahnya.
Memang begitulah pemimpin. Ia hadir untuk diteladani. Untuk menjadi teladan, ia harus berani berkorban. Mengorbankan, pikiran, waktu, tenaga untuk kebaikan anak buahnya. Seorang pemimpin sejati mesti mendulukan anak buahnya daripada kepentingan keluarga atau kawan-kawannya.
Para sahabat, dididik Rasulullah agar mempunyai jiwa berkurban. Maka lihatlah bagaimana pengorbanan mereka untuk mempertahankan Islam. Mereka ada yang rela dipecat dari pekerjaannya, disiksa bahkan ada yang dibunuh. Rasulullah sendiri pernah diboikot kaum kafir Quraisy, sehingga makan pun susah. Rasul sering diteror, bahkan juga mau diancam bunuh.
Para sahabat Anshar mengorbankan wilayahnya untuk sahabatnya muhajirin. Mereka menyediakan rumah, pekerjaan bahkan ada yang bersedia mencarikan istri. Jiwa berkorban telah tertanam dalam jiwa mereka.
Beda dengan para pejabat kita sekarang. Yang ada bukan jiwa berkorban. Tapi jiwa yang rakus atau tamak. Mereka bekerja bukan bagaimana agar rakyat Sejahtera tapi bagaimana dirinya Sejahtera lebih dulu. Sejahteranya pun dalam tingkat maksimum. Mereka bergaji ratusan juta dan tidak peduli jutaan rakyat Indonesia banyak yang kelaparan tiap harinya.
Jiwa berkoban telah hilang dalam jiwa mereka. Ini telah disinyalir tokoh besar Mohammad Natsir dalam tulisannya. Natsir menulis bahwa dulu sebelum kemerdekaan rakyat berkorban mengorbankan harta, tenaga bahkan nyawanya. Mereka mengorbankan itu semua tanpa pamrih untuk dikembalikan. Tapi setelah merdeka, Natsir melihat jiwa pamrih itu muncul. Mereka ingin dihargai jasa-jasanya, mereka ingin diangkat jadi pejabat dan seterusnya.
Bila jiwa pamrih atau jiwa rakus itu banyak muncul dalam masyarakat, maka rusaklah masyarakat itu. Orang jadi sikut-sikutan untuk mendapatkan harta dan jabatan. Itu kita saksikan dalam masyarakat kita sekarang. Sehingga rakyat kita jauh dari kata adil dan makmur. Ini terjadi karena pejabat-pejabat yang di atas banyak yang rakus dan pamrih.
Organisasi Islam besar Ikhwanul Muslimin, mensyaratkan anggotanya untuk mempunyai jiwa pengorbanan (at tadhiyah). Mereka didorong untuk mengorbankan waktu, fikiran dan tenaganya untuk berjuang menegakkan kemuliaan Islam.
Kisah yang hampir tidak masuk akal terjadi setelah perang Yarmuk, perang kaum Muslimin melawan Romawi di Yarmuk (Syam). Saat itu sahabat al-Harits minta air minum karena haus luar biasa. Dibawakanlah air untuknya. Tapi ketika ia lihat sahabat di sampingnya Ikrimah yang kehausan, ia batal untuk minum. Diberikannya air itu untuk sahabatnya Ikrimah. Ketika Ikrimah mau minum, ia melihat sahabat lainnya, Ayyash kehausan. Ia pun batal minum. Diberikannya air minum itu untuk sahabatnya Ayyash. Belum sampai air minum itu ke Ayyash, Ayyash sudah wafat. Begitu pula Ikrimah dan al Harits juga telah wafat.