Nabi Yahya Bukan Sekadar Nabi, tapi Simbol Perlawanan terhadap Kezaliman

Di zaman ketika kebenaran bisa dibungkam dengan uang, dan keadilan bisa dibeli oleh kuasa, kisah seorang pemuda suci dari Bani Israil terasa menampar kesadaran kita.
Namanya Yahya bin Zakaria, seorang nabi yang hidup ribuan tahun lalu, tapi nilai perjuangannya masih hidup—bahkan relevan—hingga kini.
Lahir dari Doa yang Mustahil
Nabi Yahya bukan sekadar lahir, ia adalah jawaban dari doa yang dianggap mustahil. Ayahnya, Nabi Zakaria, telah renta. Rambutnya memutih, tulangnya rapuh, namun hatinya tak pernah berhenti berharap:
وَقَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Ya Rabb, tulangku telah rapuh, rambutku memutih, namun aku tak pernah kecewa dengan doa kepada-Mu.” (Q.S. Maryam: 4)
Allah mengabulkannya dengan sebuah mukjizat. Malaikat berkata:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang anak bernama Yahya, yang sebelumnya belum pernah Kami berikan nama itu kepada seorang pun.” (Q.S. Maryam: 7)
Dari awal hidupnya, Nabi Yahya sudah menjadi simbol: bahwa harapan tak boleh mati, bahkan ketika logika manusia mengatakan “tidak mungkin.”
Pemuda yang Tak Mau Diam
Ketika dewasa, Nabi Yahya menjadi suara kebenaran di tengah masyarakat yang larut dalam dosa. Hidupnya sederhana, pakaiannya kasar, tapi suaranya tajam. Allah menggambarkannya:
يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا • وَحَنَانًا مِّن لَّدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا • وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا عَصِيًّا
“Wahai Yahya, ambillah Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Kami berikan kepadanya hikmah sejak kecil, kasih sayang dari sisi Kami, kesucian, dan ia seorang yang bertakwa. Dan ia berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan orang sombong lagi durhaka.” (Q.S. Maryam: 12-14)
Ketika Raja Herodes hendak menikahi anak tirinya—pernikahan yang jelas dilarang agama—semua memilih diam. Nabi Yahya berdiri sendirian, berani berkata: “Itu haram di sisi Allah!” Kalimat itu menggetarkan istana. Dan seperti biasa, kekuasaan yang terusik akan melawan. Nabi Yahya dipenjara, difitnah, hingga akhirnya dipenggal kepalanya atas permintaan seorang perempuan yang haus nafsu dan seorang penguasa yang takut kehilangan wibawa.