RESONANSI

B3++

Maka, jabatan Presiden itu seperti barang dagangan yang bisa dibeli oleh konglomerasi korporasi. Jika masih tak memenuhi posisi tawar, konglomerasi satu akan memanggil konglomerasi lain, kemudian ramai-ramai bersama mengeroyoknya dalam satu kongsi membentuk raksasa oligarki.

Jika sudah sepakat, Presiden yang sudah kebeli kedaulatannya, tinggal menandatangani kontrak surat “tanggung rente” yang nanti harus dibayarkannya. Katanya di Pilpres 2024 untuk mahar sebesar 11 triliun hingga duduk di kursi tahta singgasana. Tetapi, sebagai hutang pengembaliannya tak ada batas nilai sampai nafsu keserakahan dan kerakusan para oligarki itu terpuaskan yang sesungguhnya takkan pernah terpuaskan.

Bedebahnya, suguhan transaksional berkelanjutan itu yang takkan pernah berpuas dan berada di ketiak masa kekuasaan Presiden itu, adalah nikmatnya segala bentuk korupsi berjenis apa pun, dengan kepentingan apa pun. Maka, dihabisilah APBN, PDB, bahkan bila perlu kekayaan sumber daya alam dan bumi yang masih tertanam di atas dan terkubur di dasarnya sekalipun.

Sebagai gerombolan para penyamun politik yang tak kentara, berjas an sich dan inkrah karena dilindungi hukum, Presiden boleh jadi malah membiarkan dan terbiarkan terjadinya konspiratif dengan lagi-lagi lembaga-lembaga demokrasi (legislatif), lembaga hukum (yudikatif), apalagi yang paling tumbuh subur dan rimbun adalah di lembaga kabinetnya sendiri. Bahkan, hingga merontokkan ketahanan lembaga pemegang sistem pertahanan dan keamanan, seperti lembaga ketentaraan TNI dan Kepolisian, Polri.

Muara akhirnya, Presiden kemudian menjadi penanda portal dan barikade negara, kemudian kemunculannya bak raja sebagai pemimpin negara otoratianisme otoriter.

Biadabnya, sudah otoriter, tapi ini sudah terjadi sangat lazim, hukum tegak lurus itu yang seharusnya menjadi panglima keadilan, malah semakin sangat tajam ke bawah, tapi semakin sangat loyo dan tumpul ke atas. Saking tumpulnya, bagi para rezim penguasa feodal itu nyaris tanpa sanksi hukum, alias kebal dan bebas hukum apa pun perbuatannya, dari korupsi, rangkap dan jual beli jabatan, kolusi, nepotisme dan atau penyalahgunaan wewenang.

Tetapi, yang di bawah semakin memberontak, semakin dihentak dengan tekanan hukum yang semakin memberatkan. Seringkali sanksi dijatuhkan tanpa alasan hukum yang jelas, bahkan sangat brutal secara kasat mata, sesungguhnya buta seolah mereka tutup mata.

Bentuk buas kebiadabannya boleh jadi semakin menumpuk di daftar administrasi lembaga Komisi Nasional HAM, yang setiap kasusnya semakin termarjinalkan.Salah satu contohnya, kasus penganiayaan pengeroyokan brutal oleh anggota pasukan Bri-mob terhadap pendemo anak di bawah umur di kampung Bali peristiwa 21–22 Mei 2019 lalu yang akhirnya tewas mengenaskan. Meski viral di media massa dan layar kaca, seolah tak ada ketegaan rasa hanya menjadi tontonan cuma-cuma, tanpa menjadi penyulut yang kemudian memunculkan gelombang protes massa melakukan perlawanan. Juga kebiadaban terhadap enam laskar FPI yang dibantai sia-sia itu, kemudian lenyap tanpa bekas jejak hukumnya yang jelas?

Sampai pada titik akhir artikel ini, Indonesia yang telah berlabel B3++ (Bangsa Budak Belian, plus Bedebah, plus Biadab) semakin menyemai tumbuh subur semenjak kemunculan penguasa rezim Jokowi. Dan oleh rezim sengaja dipelihara perpecahan rakyat-bangsa, tanpa secuil pun upaya rekonsiliasi. Semakin muluslah oligarki itu berulah. Dan pertanyaannya, ketika jabatan Presiden berakhir, apakah kekuasaan rezim feodalis-oligarki itu juga akan berakhir?

Jawabannya, tentu saja tidak. Hereditasnya, para oligarki konglomerasi dan partai itu menginginkan kembali berkuasa. Tandanya awal sudah ada, mereka sudah kasak-kusuk caranya dengan memunculkan sikap agnostik politik kepura-puraan: seolah terjadi perpecahan dengan membentuk koalisi baru, atau mendukung calon yang diprediksi bakal calon jadi yang pada saat akhir kampanye justru melepaskan dukungannya, sehingga sang calon jadi terkunci dan tak jadi karena terhalangi syarat PT 20%, yang memang menjadi “truf” permainan politik yang sengaja dimainkan. Sehingga, seperti sudah diprediksi, mereka akan menang mudah. Atau peluang kemenangan itu ada bagi calon Presiden di luar anggota oligarki, tetapi nyaris hanya sebagai suatu keajaiban? Wallahu’alam Bishawab.

Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan. Tinggal di kota Bekasi.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button