OPINI

Balada Demokrasi Amplop

Ketika Islam melarang keras suap-menyuap. Hal ini tentunya diimbangin dengan upaya preventif dan kuratif. Adapun upaya preventif tersebut di antaranya:

Pertama, meningkatkan keimanan dan ketakwaan para pejabat negara. Keimanan dan ketakwaan yang tinggi membuat seorang Muslim takut terhadap perkara-perkara yang dilarang Allah Ta’ala. Termasuk dalam perkara suap-menyuap yang mengundang laknat. Sebab ia akan selalu mengingat beratnya balasan di pengadilan Allah Ta’ala kelak.

Kedua, menguatkan idrak silla billah para pejabat negara. Idrak silla billah adalah kesadaran hubungan dengan Allah Ta’ala. Seorang Muslim yang memiliki idrak silla billah akan berhati-hati dalam setiap beraktivitas. Ia akan senantiasa sadar bahwa setiap Muslim tak lepas dari pengawasan Allah Ta’ala (muraqabah). Apatah lagi terhadap setiap perkara yang menjerumuskannya kepada dosa. Tak terkecuali dosa dalam praktik suap-menyuap.

Ketiga, pemberian gaji yang tinggi dan fasilitas yang cukup dan nyaman. Di satu sisi, negara juga menerapkan larangan menerima uang atau bentuk lainnya, di luar gaji dan fasilitas tersebut.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Daud).

Keempat, penghitungan/audit kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Sejarah mencatat dengan tinta emas. Bagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam melakukan audit terhadap para pejabat yang beliau angkat, baik sebelum maupun setelah diangkat. Misalnya ketika Rasulullah mengaudit kualitas tepung di pasar, ternyata tepung tersebut kering di atas, basah di bawah.

Hal ini pun dilakukan oleh para Khalifah sesudah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat. Misal, Abu Bakar radhiyallahu’anhu melakukan audit terhadap pelaksanaan zakat. Saat suatu kaum menolak membayar zakat, Abu Bakar radhiyallahu’anhu lalu menindaknya dengan tegas.

Contoh audit paling lengkap adalah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu. Ia selalu mencatat kekayaan seseorang yang diangkatnya sebagai kepala daerah (wali) sebelum dan sesudah menjadi pejabat. Jika ia meragukan kekayaannya, ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari jumlah yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Bahkan terkadang ia membagi dua kelebihan kekayaan tersebut. Setengah untuk pejabat yang bersangkutan, separuh untuk dimasukkan ke Baitul Mal (kas negara).

Kelima, membuka selebar-lebarnya dan semudah-mudahnya pintu aduan bagi masyarakat atas dugaan suap para pejabat. Kemudian meneliti (menyelidiki) dalam rangka tabayyun, serta menindaklanjuti pengaduan tersebut. Dengan begitu, terlaksana peran masyarakat sebagai pengontrol dan pengoreksi penguasa/pemerintah.

Sedangkan upaya kuratif merupakan pemberian sanksi/hukuman yang diberikan Khalifah kepada para pejabat yang terbukti melakukan praktik suap-menyuap. Hukuman tersebut dapat saja berupa kurungan selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau lebih lama daripada itu, atau bahkan hukuman mati. Dilihat pada bahaya yang diakibatkan oleh praktik suap-menyuap yang dilakukannya terhadap umat dan negara.

Sungguh utopis menuntaskan balada demokrasi amplop di tengah sistem yang semakin brutal ini. Maka, tak ada harapan selain kepada Islam yang telah terbukti mumpuni, menuntaskan praktik suap-menyuap. Tentunya jika sistem Islam diterapkan secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan. WalLahu’alam.

Ummu Naflah
Penulis, Mentor Opini AMK

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button