OPINI

Belajar dari Malaysia Cara Mengganti Rezim

Saya salah seorang mahasiswa yang ikut turun ke jalan melakukan demonstrasi di Padang Sumatera Barat untuk menumbangkan rezim orde baru Soeharto pada reformasi 1998. Saya juga melihat secara langsung gerakan kebangkitan rakyat di Malaysia karena sudah 15 tahun saya berada di negara ini.

Reformasi 1998 yang telah berumur 20 tahun itu ternyata gagal melaksanakan cita-citanya seperti memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, hutang luar negeri, bad governance yang masih terlihat nyata di negeri ini. Semua itu disebabkan kita gagal memilih rezim dan pemimpin yang cerdas dan amanah selama ini.

Dalam acara buka puasa bersama di rumah DS Anwar Ibrahim pada 17 Mei lalu yang saya hadiri beliau mengingatkan supaya pergantian rezim di Malaysia tidak gagal sebagaimana revolusi Perancis, gerakan rakyat di Cina, India, Indonesia yang mengganti rezim buruk kepada yang lebih buruk disebabkan adanya persaingan elit sebagaimana dalam revolusi Perancis.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipelajari dari pergantian rezim di Malaysia pada PRU ke 14 lalu antara lain;

Pertama, semangat anak muda yang mematahkan opini, persepsi yang dibangun oleh pemerintah dan pemimpin dengan data dan fakta melalui serangan padu anak muda di media sosial. Meme-meme yang cerdas dan membangun juga sangat membantu menyadarkan masyarakat banyak.

Kedua, bersatunya intelektual Malaysia menjatuhkan rezim melalui gerakan nyata seperti usrah pengajian politik, dukungan secara nyata mahupun di belakang layar kaum terpelajar, intelektual, cendekiawan, tokoh masyarakat. Ia dibangun atas dasar semangat kepentingan bersama bahwa rezim tidak lagi berjalan di atas rel yang betul, membahayakan dan harus diganti demi masa depan dan keselamatan anak cucu generasi akan datang.

Ketiga, warganegara tahu akan hak-hak politik mereka, pegawai negeri seperti dosen, guru, tentara, polisi sebagainya sadar bahawa mereka diangkat oleh negara dan dibayar gajinya oleh rakyat untuk mengabdi pada negara bukan pada Presiden apalagi pada partainya presiden yang bersifat semantara. Bagi mereka pemimpin datang dan pergi yang kekal adalah berjuang untuk kebaikan bangsa dan negara.

Keempat, menyiapkan pemimpin alternatif yang lebih baik cerdas berkualitas dan amanah. Pengalaman Mahathir dan Anwar Ibrahim selama puluhan tahun dalam mengurus negara tidak diragukan lagi. Anwar dan Mahathir walaupun sudah tua tapi banyak pengalaman dan mereka dapat dijadikan sebagai simbol dan arah perjuangan jutaan anak muda yang cerdas amanah dibelakangnya. Ini tentu saja berbeda dengan seorang calon tua tanpa pengalaman dan minim prestasi yang digadang-gadangkan di Indonesia.

Kelima, menyiapkan pemimpin yang berkualitas, Untuk itu Indonesia harus memunculkan seorang calon presiden al-qawiyun amin, rekam jejak yang baik, jujur, adil, berilmu, memiliki wawasan yang luas, bermoral-akhlak yang mulia, berkarisma, wibawa, jati diri, integritas, Siddiq, amanah, cerdas dan tablig, berjiwa merdeka, intelektual, cendekiawan, muda, sipil. Pilihlah seseorang pemimpin itu atas dasar kualitas peribadinya bukan karena faktor lain seperti karena dia anak sianu, kakeknya pendiri organisasi anu, bukan karena faktor mitos tahayul khurafat yang tidak ilmiah dan bukan pula pemimpin balon yang besar karena angin pencitraan media. Orang Indonesia seperti dipaksa atau terpaksa memilih dua calon presiden yang kurang berkualitas disaat ada ratusan anak bangsa yang diakui dunia akhirat akan kualitasnya. Seorang calon yang dibesarkan oleh pencitraan media yang telah banyak menyebabkan huru hara dan seorang lagi yang sudah tua, tiada pengalaman dan lemah prestasi. Sepertinya kedua calon ini dipelihara oleh kapitalis karena untuk menaklukkan sebuah negara cukup dengan menaikkan pemimpin yang lemah bisa didikte oleh kehendak dan keinginan mereka.

Keenam, mengganti rezim melalui kuasa rakyat people power melalui proses demokrasi kuasa paku di tempat mencoblos yang berhak menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin. Tiada kekerasan, pengrusakan dan kegaduhan selain proses biasa rakyat menjalani haknya mengganti rezim.

Ketujuh, setelah menang kalimat pertama yang keluar dari mulut pemimpin yang menang adalah; tiada aksi balas dendam selain menegakkan supremasi hukum. Kita bukan yang berhormat tetapi yang berkhidmat karena pemimpin adalah pembantu rakyat. Kita harus mengawasi kehidupan orang yang kita pilih, jika mereka kawin lagi, beli kenderaan mewah, rumah mewah setelah terpilih kita harus mengawasi mereka.

Kedelapan, yang kalah menerima keputusan itu dengan baik karena menghormati hak rakyat untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin mereka. Sementara yang menang tidak merayakan kemenangan secara berlebihan selain puji syukur kepada Allah.

Kesembilan, menempatkan para profesional dibidangnya masing-masing bukan atas dasar bagi-bagi kue kekuasaan. Karena kehancuran akan melanda suatu bangsa jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya.

Walaupun banyak persamaan, Malaysia akan belajar dari kegagalan reformasi 1998 dalam melahirkan rezim yang lebih baik. Dan dalam banyak hal seperti Transmigrasi, guru yang didatangkan dari Indonesia, Pramuka dan sebagainya yang mereka belajar dari Indonesia tetapi Malaysia ternyata terbukti mendapat hasil yang lebih baik dari apa yang dilakukan oleh “gurunya” Indonesia.

Dalam pengamatan saya tentang gerakan rakyat yang menginginkan pada tahun 2019 ganti Presiden di mana rakyat Indonesia akan memiliki Presiden baru adalah sebuah kekuatan yang tidak dapat dihalang dengan berbagai-bagai pengalihan isu di Indonesia.

Disamping ia adalah pesta demokrasi yang lazim dan biasa di mana rakyat Indonesia akan memilih rezim yang baru untuk memimpin mereka setiap lima tahun sekali, ia juga adalah hak-hak warganegara yang dijamin oleh Undang-undang. Malaysia pernah menghalang beberapa tokoh reformasi 1998 untuk masuk ke negara mereka karena takut akan membawa semangat reformasi ke Malaysia. Saya yakin Indonesia tidak akan melakukan hal sama karena pada zaman media sosial yang serba instant saat ini cara lama seperti itu tidak akan berguna lagi.

Jika pada PRU ke 13 dukungan pada BN dan DS Najib menurun, dukungan pada Jokowi pun hampir sama menurun dalam berbagai-bagai poling yang dilakukan. Pada pilpres 2014 Jokowi hanya mendapat 70. 997. 833 (37%) suara dari daftar pemilih dibadingkan 119. 309.301 rakyat tidak memilihnya (hampir 63%) dengan perincian 62 juta pemilih prabowo dan 57 juta golput).

Kajang, 22 May 2018

Afriadi Sanusi, Ph.D

Artikel Terkait

Back to top button