INTERNASIONAL

Cerita Para Mualaf dari Jepang dan Inggris yang Bisa Umroh Sebelum Virus Corona Mewabah

Tetap menikmati hidup walau lagi sedih

Kaiji – yang menikah dengan perempuan Indonesia Yusanne – mengatakan ia mulai mempelajari tentang Islam ketika ikut dalam program pertukaran di Brunei.

“Waktu ketemu orang Islam lain, mereka hidupnya bisa bahagia tanpa minum alkohol. Meski sedih tetap bisa menikmati. Beda sama orang Jepang yang kalau sudah stres bisa bunuh diri. Waktu bertemu mereka, saya bisa merasakan kedamaian dan lebih bisa mengontrol diri,” cerita Kaiji saat mulai mempelajari Islam.

Saat ini ia bekerja sebagai pengajar sekolah Jepang di Bandung dan berencana akan kembali ke Tokyo pada bulan Juli mendatang.

Sementara Hanan mengatakan keputusannya 25 tahun lalu, karena apa yang dia sebut mengisi kekosongan hidup.

“Tidak ada momen khusus yang membuat saya pindah agama. Semua bermula karena ketidakpuasan dan perasaan hampa dan kosong karena tak ada keyakinan (agama) apa pun sampai kemudian saya tertarik untuk bertemu rekan-rekan Muslim untuk bertanya tentang Islam,” kata Hanan yang saat ini bekerja di satu sekolah dasar di Cardiff.

Hanan Sandercock dan suaminya John Smith. [BBC]

“Saat itu umur saya 27 tahun, saya lebih banyak pergi sendiri. Orang saya saat itu bingung karena mereka tinggal di daerah mayoritas kulit putih (di Cornwall, Inggris selatan) dan hanya sedikit Muslim. Mereka baik dan tertarik (mengetahui lebih lanjut), walaupun ayah saya tak suka saya pakai jilbab. Ibu saya percaya pada Tuhan, jadi dia bisa melihat banyak persamaan,” kata ibu beranak empat ini.

Hanan – yang dulu bernama Donna – melanjutkan perguruan tinggi di Cardiff pada 1990-an dan bertemu dengan sejumlah teman-teman Muslim.

Walau tak ada momen khusus yang memicunya pindah agama, Hanan menyebut satu peristiwa saat ia berjalan bersama temannya ke Palestina.

“Ketika saya mengunjungi daerah yang diduduki di Palestina pada 1990-an, saya dan teman saya tersesat di wadi, dan saat itu tengah hari, panas dan sepi. Kami tak punya telepon genggam dan hampir kehabisan air. Saya khawatir kami akan meninggal di sana. Saat itu tak ada yang bisa ditelepon dan saya buat ‘perjanjian’ dengan Tuhan dan saya katakan kalau kami selamat dari sini, saya akan menjadi Muslim,” tutur Hanan.

“Di dalam hati saya, saya sudah sadar Islam adalah agama yang tepat untuk saya, namun saya belum mengungkapkannya,” katanya.

Sekembalinya ke Wales, ia membaca berbagai hal tentang Islam dan bertanya ke orang-orang yang ia kenal sebelum mengucapkan syahadat, di depan almarhum Imam Sheikh Said, yang ibunya juga orang Wales yang mualaf.

Ia mengatakan “langsung merasa lega” karena mendapatkan “semua jawaban yang ia cari”.

Hanan mengatakan kondisi masyarakat di Inggris berbeda pada tahun 1990-an.

“Tak banyak saat itu orang yang jadi mualaf karena tak banyak berita negatif di media. Namun setelah serangan 11 September (pada 2001 di New York), saya takut untuk pergi keluar sendiri dengan anak-anak. Dan saya tidak lagi pakai abaya dan menggunakan baju biasa. Alhamdulilah saya tidak mengalami ejekan dan saya masih pakai jilbab.”

Dalam 25 tahun terakhir ini, Hanan mengatakan ia mengalami banyak perubahan, namun menekankan ia ingin menunjukkan identitas sendiri.

Ia menyebut contoh pada mereka yang pindah agama setelah menikah dengan komunitas tertentu dan berpakaian mengikuti kebiasaan komunitas itu.

“Saya ingin menunjukkan identitas saya sebagai Muslim Inggris, tanpa perlu menghilangkan apa yang saya miliki sebelumnya,” kata Hanan menutup ceritanya.

sumber: BBC News Indonesia

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button