MASAIL FIQHIYAH

Empat Faktor Penyebab Penyimpangan Seksual dari Perspektif Ushul Tarbiyah Islamiyah

Faktor Imunitas Diri

Faktor bawaan dari lahir dan faktor lingkungan sosial seperti tersebut di atas, sebenarnya bisa diatasi jika individu tersebut mempunyai Mannā’ah Ruhiyah (imunitas spiritual) yang kuat. Yang dalam surat Asy-Syams di atas bisa dimasukkan dalam golongan “Man zakkāhā” (orang yang menyucikan jiwanya).

Ini adalah hasil dari proses pengasuhan yang baik dan tertanamnya nilai keagamaan yang kuat. Individu tersebut akan “auto reject” atau “auto resistance” saat terpapar pengaruh dan godaan penyimpangan dari luar. Bahkan jika ia “bermasalah” secara genetik dan hormonal sekalipun.

Perasaan akan Murāqabatullāh (merasa diawasi Allah), kesadarannya akan Adhrārul Ma’āshy (bahaya maksiat dunia dan akhirat), dan pengetahuannya akan ‘Uqūbāt Inhirāfāt Jinsiyyah (hukuman syar’i atas penyimpangan seksual), akan menjadi tameng yang kokoh baginya.

Apalagi jika dibentengi dengan Ibadah Mahdhoh (sembahyang ritual) yang kuat, khususnya Puasa. Sebagaimana Taujih Nabawi bagi para pemuda untuk memperbanyak puasa, saat belum mampu menikah. Karena puasa itu mengandung Al-Wijaa’ (obat pereda).

Namun sebaliknya, jika individu tersebut tidak mempunyai imunitas diri yang kuat, maka saat ia berada dalam lingkungan dan pergaulan yang kotor, ia pun menjadi kotor atau tambah kotor. Sekalipun awalnya bersih. Yang dalam Surat Asy-Syams di atas bisa termasuk dalam golongan “Man dassāhā” (orang yang mengotori jiwanya).

Ia pun menjelma menjadi hamba syahwat-nya. Awalnya mengumbar pandangan dan lintasan pikiran. Lalu tergerak melakukan Muqoddimat Zina (pendahuluan zina). Hingga terjadilah apa yang terjadi.

Zina pun berkembang ke banyak varian seperti: Ityānul Haidh (menzinahi perempuan haidh), Ityānul Dubur (menzinahi anus), Ityānul Mahārim (incest), Az-Zinā Al-Jamā’i (sex party) dan Tabādul Azwāj (swap).

Saat bosan berzina (heteroseks), ia pun ingin mencoba sensasi baru dengan seks sesama jenis, baik dengan Liwāth (homoseks) atau Sihāq (lesbi).

Ketika sudah jenuh melakukan sex dengan manusia dewasa, ia pun ingin mencoba sensasi memperkosa anak kecil (Al-Ghilmāniyah atau Pedofil).

Tatkala sudah biasa berhubungan seksual dengan manusia hidup, ia pun terdorong untuk mencoba pengalaman baru yang menegangkan dengan menyetubuhi mayat (Ityānul Mayyitah).

Lalu, di waktu objek-objek seksual itu tak tersedia di hadapannya, ia pun mencoba fantasi dan sensasi baru dengan memperkosa binatang (Ityānul Bahā’im).

Begitulah seterusnya. Khuthuwāt Syaithān (langkah-langkah setan) itu terus menyeretnya dari kubang kekejian yang satu ke kubang kekejian yang lain. Hingga ia terjerembab dalam kekejian yang paling keji, yang seluruh penduduk langit dan bumi begidik melihatnya.

Di zaman yang semakin aneh ini, semoga Alloh Ta’ala selalu menjaga kita dan anak-anak kita, serta seluruh anak-anak kaum Muslimin dari segala bentuk penyimpangan seksual yang terkutuk. Wal ‘iyādzu billāh.

Rumah Sakit Uhud, 14/5/1441

Hakimuddin Salim
Doktor Pendidikan Islam dari Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia

Laman sebelumnya 1 2 3 4

Artikel Terkait

Back to top button