OPINI

Gerakan Separatisme Papua, Bisul Itu Mulai Pecah

Berapa jumlah korban tewas, sampai saat ini masih simpang siur. Polisi menyebut dua warga sipil, dan seorang anggota TNI tewas. Namun beredar kabar jumlah tewas lebih banyak.

Menkopolhukam Wiranto menolak menyebut berapa jumlah pasti yang tewas. “Ya, terserah kita lah mau umumkan atau tidak. Kalau diumumkan, perlu diumumkan. Kalau tidak, ya, tidak,” ujarnya ringan.

Bukan kali ini saja sesungguhnya aksi rasisme terjadi terhadap warga Papua. Tahun lalu (Alm) M Yamin Ketua Umum Seknas Jokowi menyamakan aktivis Papua Natalius Pigai seperti Gorila.

Posisi politik Pigai yang beroposisi dan kritis terhadap pemerintahan Jokowi menyebabkan dia sering menjadi serangan rasisme.

Di sejumlah akun medsos, banyak yang menyamakan Pigai seperti monyet. Namun perlakuan rasis itu hanya mendorong terjadinya unjukrasa di berbagai kota.

Kali ini reaksinya berbeda. Unjukrasa berubah menjadi amuk massa. Dimulai di Manokwari ibukota Papua Barat menjalar ke Sorong dan Fak fak. Kemudian ke Deyai, dan Jayapura di Papua.

Situasinya masih tidak menentu. Polisi mengerahkan sejumlah personil Brimob ke Papua. Begitu pula TNI. Dua Satuan Setingkat Kompi (SSK) Batalion 512 dari Brigif 18 Kostrad, dan 129 personil Marinir diberangkatkan ke Papua.

Kualifikasi mereka adalah prajurit tempur. Prinsipnya: Kill or to be kill. Membunuh atau dibunuh. Bukan mengendalikan huru-hara. Masalahnya sampai sekarang pengerahan pasukan TNI tidak jelas payung hukumnya.

Status hukum Papua adalah tertib sipil. Dengan begitu penanganan keamanannya berada di tangan polisi. TNI tidak berhak bertindak, apalagi menggunakan senjata.

Padahal mereka secara terbuka sudah menyatakan ingin memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan separatis. Bukan lagi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) seperti yang selama ini disebut polisi.

Status hukum yang tidak jelas, berdampak pada ketidakjelasan prosedur penanganannya. Akibatnya seperti terjadi pada unjukrasa di Deyai. Anggota TNI diminta menyimpan senjatanya. Bermodal tangan kosong berhadapan dengan warga yang membawa parang dan panah.

“Mereka bisa menjadi sansak hidup. Mati konyol,” ujar seorang pensiunan perwira tinggi TNI dari korps baret merah dengan geram.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button