SUARA PEMBACA

Harga Mi Instan Naik, Ketahanan Pangan Masih Menukik

Potensi Zamrut Khatulistiwa yang luar biasa besarnya, tampaknya belum digarap secara maksimal. Kemandirian pangan yang digadang-gadang sejak dulu, pun masih hanya sebatas angan. Sementara itu, bentang sumber daya alamnya yang luas, serta anak-anak negeri yang berkualitas, telah siap mendedikasikan kemampuannya untuk membangun negeri.

Hanya saja cengkeraman kapitalisme  global menjadikan negara tunduk terhadap World Trade Organization (WTO), hingga membuatnya bergantung pada kekuatan asing. Maka tak heran Indonesia pun terkena dampak perang Ukraina-Rusia pada rantai pasok pangan,  demikian disampaikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo terkait prediksi kenaikan harga mi instan.

Hal ini tentu mengejutkan masyarakat, sebab makanan termasuk kebutuhan pokok untuk memenuhi hajatul udhowiyah (kebutuhan jasmani manusia). Tak elok kiranya menaikkan harga makanan di tengah kenaikan harga-harga kebutuhan masyarakat lainnya. Tak pelak perkiraan kenaikan harga mi instan menjadi tiga kali lipat,  meresahkan masyarakat.

Pasalnya, makanan yang satu ini memang diminati banyak kalangan. Dengan aneka rasa dan harganya yang terjangkau, menjadikannya sebagai makanan favorit yang senantiasa di rumah-rumah. Mi instan tidak mengenal kelas ekonomi sosial. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)  mencatat bahwa rumah tangga menengah ke atas adalah kalangan pengonsumsi terbesar mi instan, yakni sebanyak 16,1 juta atau sebesar 95,79%. Bagi penduduk di bawah garis kemiskinan, ia menjadi sumbangan bahan pangan ke 5 paling besar. (Lokadata.id, 12/3/2021)

Meski isu kenaikan harga telah dibantah oleh salah satu pengusaha mi instan ternama di negeri ini, tetapi di beberapa wilayah harganya mulai merangkak naik. Pada gilirannya masyarakat yang menjadi korban. Kehidupan sempit berkelanjutan seolah belum usai pasca berlalunya pandemi. Kelangkaan pangan seyogianya dapat diantisipasi oleh pemerintah dengan cara memenuhi ketersediaan bahan pangan di pasaran. Jika tidak, akan mengganggu kemaslahatan.

Ketika stok pangan menipis maka harga akan melambung. Saat itulah biasanya pemerintah akan memutuskan impor. Padahal sejatinya dengan pengelolaan yang benar, Indonesia mampu bertahan tanpa terpengaruh kondisi di luar negeri. Inilah bukti bahwa swasembada pangan dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah terwujud.

Para kapital menguasai seluruh lini kehidupan masyarakat, sehingga tidak ada ruang bagi kesejahteraan rakyat. Maka perlu segera mengganti seluruh aturan yang berlaku di masyarakat, dengan Islam, yakni sebuah sistem kehidupan yang datangnya dari Allah, pencipta semesta alam.

Politik pertanian dalam Islam, mengacu pada peningkatan kualitas pertanian dan distribusi yang adil. Baik dengan pengadaan lahan, peningkatan budi daya dan pupuk, pelatihan dan obat-obatan, hingga pemasarannya.

Rasulullah bahkan pernah mencontohkan menghidupkan tanah mati untuk dikelola masyarakat. Di masa setelahnya, petani di Irak pernah mendapat bantuan dari Khalifah Umar sehingga bisa memperoleh hasil yang baik dari bercocok tanam. Kepedulian khalifah terhadap urusan rakyat, benar-benar menyentuh hingga ke  hal-hal kecil.

Para khalifah pun menjaga lahan yang ada dan tidak menghabiskannya untuk industri. Bagi pemilik tanah akan diperintahkan mengelolanya. Jika diabaikan selama 3 th maka akan diambil alih oleh negara. Sebagaimana pernah disampaikan Khalifah Umar bahwa, orang yang memagari tanah tidak berhak atas tanahnya setelah membiarkannya selama tiga tahun.

Distribusi dipastikan merata sehingga memenuhi kebutuhan individu per-individu. Ketika individu sulit memenuhi kebutuhan pangannya meski hanya sehari, maka penguasa akan segera berupaya turun tangan memenuhinya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button