HNW: Kriteria Penceramah Radikal BNPT Tendensius dan Tak Adil, Segera Cabut
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritisi kriteria untuk atasi radikalisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) karena tendensius dan membiarkan radikalisme yang lain atau malah menambah kegaduhan dan tak selesaikan masalah dan akar masalah dari radikalisme.
Karenanya, Hidayat mendukung sikap Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Para Aktivis HAM yang mengkritik kriteria penceramah radikal oleh BNPT.
Apalagi, kata dia, kriteria-kriteria sepihak terlihat sangat tendensius dan tidak adil karena hanya menyasar kelompok penceramah beragama Islam, dan tidak menyentuh radikalisme lain yang juga terjadi di wilayah NKRI dalam bentuk komunisme, atheisme, maupun separatisme yang bertentangan dengan Pancasila dan dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi kriteria itu juga menyasar penceramah dengan sikap kritis dan korektif kepada Pemerintah, itu malah dapat membungkam demokrasi dan HAM.
“Kriteria-kriteria mengatasi radikalisme itu mestinya sesuai dengan Pancasila yang final pada 18 Agustus 1945, dan UUD NRI yang mengakui dan menghormati Agama, Persatuan Indonesia, dan hak asasi manusia (HAM),” ujar pria yang akbar disapa HNW itu melalui siaran pers, Kamis (10/3/2022)
Pasalnya, lanjut HNW, bila tidak konsisten dan sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila dan UUDNRI 1945 tersebut maka kriteria itu malah menambah masalah, dengan timbulnya rasa diberlakukan tidak adil, tapi di pihak lain membiarkan terus terjadinya radikalisme melalui ceramah maupun kegiatan yang lain oleh mereka yang anti agama seperti kelompok atheis maupun komunis yang tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 ayat (1) UUD NRi 1945, yang bisa ditengarai dengan makin maraknya laku maupun pernyataan yang dinilai sebagai menodai Agama, ajarannya, simbol maupun tokoh agama.
Juga ceramah dari tokoh agama yang mendukung gerakan separatis di Papua sehingga bertentangan dengan Pancasila sila ketiga maupun Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945. Padahal korban-korban dari kelompok OPM ini terus berjatuhan, selain TNI, Polri juga masyarakat sipil bahkan Nakes. Dan oleh Menkopolhukam gerakan separatis KKB OPM disebut sebagai kelompok yang lebih berbahaya dari radikalisme. Tetapi anehnya, kriteria versi BNPT sama sekali tidak membahas masalah radikalisme dari 2 jenis ini. Lebih lanjut HNW menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dan menghormati HAM.
“Maka kriteria-kriteria mengatasi radikalisme mestinya juga tidak mematikan demokrasi dan pelaksanaan HAM dalam bentuk kritik konstruktif terhadap Pemerintah yang sah, karena yang demikian itu adalah dilindungi oleh UUD serta hukum dan merupakan praktek yang lazim di negara demokrasi di seluruh dunia. Kritik dan koreksi dari Penceramah dan lainnya di negara demokrasi, yang mengakui hukum dan HAM, mestinya diposisikan sebagai bagian dari pelaksanaan Pancasila dan konstitusi, serta bukti demokrasi yang hidup sebagai kontrol dan kritik terhadap pemerintah.
Namun, jelasnya, dengan kriteria pasal karet ala BNPT tersebut, bisa-bisa di lapangan yang dipraktekkan justru represi, sehingga setiap kritik dari penceramah akan dimasukkan pada kriteria membenci Pemerintah atau tidak mempercayai Pemerintah sehingga masuk dalam kriteria radikalisme ala BNPT, sehingga akhirnya kritik dan penceramah akan terbungkam dengan label penceramah radikal,” ujarnya.
Maka wajar bila kriteria penceramah radikal itu ditolak oleh banyak pihak. Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebutnya hanya “untuk membuat kontroversi” dan “membuat gaduh”.
Sedangkan, Sekretaris Jenderal MUI KH Amirsyah Tambunan mengkritik keras dan menyebut kriteria penceramah radikal ala BNPT itu sebagai blunder. Bahkan, organisasi pegiat hukum dan hak asasi manusia menyamakan model stempel radikal ini dengan apa yang digunakan oleh orde baru dalam membungkam demokrasi. Komisi III DPR juga mengkritisi dengan menyebutnya sebagai pendiskreditan terhadap Umat Islam.