NUIM HIDAYAT

Jokowi, Tirulah Soeharto dan Habibie

“Seorang pemimpin tergantung inner circlenya.” (anonim)

Pemerintahan Jokowi tinggal tiga tahun. Ia kini mulai mendengar suara-suara dari seberangnya. Perintahnya untuk merevisi UU ITE disambut Kapolri, anggota DPR dan banyak masyarakat.

Bila Jokowi mau ‘smooth’ di sisa pemerintahannya, ia meski membebaskan para tahanan politik. Presiden mesti mengambil kebaikan dari presiden-presiden sebelumnya.

Habibie ketika memegang kekuasaan, segera membebaskan para tahanan yang dikerangkeng Pak Harto. Diantaranya Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan. Pemerintahan Habibie bisa dikatakan pemerintahan yang berhasil. Dalam masa kurang dari dua tahun, Habibie telah berhasil membuat dolar turun drastis dari Rp17.500 menjadi Rp6.500. Di masa Habibie, rakyat merasakan ekonomi yang stabil dan kehidupan yang demokratis.

Soeharto pun begitu. Tidak lama memerintah (naik menjadi presiden pada 1967), pemerintahannya kemudian membebaskan tokoh-tokoh Masyumi dan PSI yang dipenjara Presiden Soekarno. Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Yunan Nasution, Mochtar Lubis dan lain-lain menghirup udara kebebasan.

Sayangnya Soeharto kemudian tidak memberi tempat dalam politik tokoh-tokoh besar bangsa itu (khususnya Masyumi). Natsir, Sjafruddin dan Roem dilarang ikut dalam partai politik. Mohammad Roem –ahli diplomasi dan mantan wakil perdana menteri- dilarang menjadi Ketua Parmusi (dalam Muktamar di Malang 1967). Padahal Roem saat itu sudah disepakati ‘Panitia Tujuh’ untuk menjadi Ketua. Tapi sayangnya Pak Harto saat itu tidak menyetujuinya. (Baca: Mohammad Roem: Penulis dan Diplomat yang Hebat).

Memang ketika Soeharto naik singgasana yang mendampinginya adalah tokoh-tokoh CSIS. (Baca: Orang-Orang Katolik dan Kristen di Sekitar Soeharto). Soeharto berubah haluan politik setelah menunaikan ibadah haji (1988). Paska 1988, Pak Harto kemudian ‘meminggirkan’ kelompok CSIS dan berbelok memihak kepada umat Islam. Sehingga lahirlah kemudian Bank Muamalat, ICMI, Republika dan lain-lain. Perwira-perwira militer Islam pun mulai naik ke permukaan, setelah sebelumnya dihambat kariernya.

Kembali ke Parmusi. Dalam sejarah tercatat, setelah melalui rapat-rapat persiapan maka pada tanggal 7 Mei 1967 terbentuklah Panitia Tujuh, yaitu: KH. Faqih Usman (Ketua), Anwar Harjono (Wakil Ketua), Agus Sudono (Sekretaris), Nj. RAB Sjamsuridjal, Marzuki Jatim, Hasan Basri, EZ Muttaqin (Anggota-anggota). Akhirnya disepakati bahwa Partai yang dimaksud akan dibentuk adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ormas-ormas Islam yang menunjukkan dukungannya dengan menandatangani piagam pendirian Partai Muslimin Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1967, adalah:

  1. Muhammadijah (AR Fachrudin dan Djindar Tamimi)
  2. Al-Djamijatul Washlijah (H. Udin Sjamsuddin)
  3. GASBINDO – Gabungan Serikat2 Buruh Islam Indonesia (Andi Mappasala, Agus Sudono)
  4. Persatuan Islam (E. Sar’an, Sukajat)
  5. Nahdlatul Wathan (Moh. Said)
  6. Mathla’ul Anwar (H. Uwes Abubakar)
  7. SNII – Serikat Nelajan Islam Indonesia (Djadil Abdullah)
  8. KBIM-Kongres Buruh Islam Merdeka (Maizir Ahmadyn)
  9. PUI-Persatuan Ummat Islam (A. Ridwan)
  10. Al-Ittihadijah (M. Thabrani R)
  11. PORBISI-Persatuan Organisasi-Organisasi Buruh Islam se-Indonesia (Sjarif Usman)
  12. PGAIRI-Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (DarussaminAS)
  13. HSBI-Himpunan Seni Budaja Islam (Junan Helmy Nasution)
  14. PITI-Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (RN Ibrahim)
  15. Al-Irsjad (Ali Hubeis)
  16. Wanita Islam (Nj. RAB Sjamsuridjal)

Selain itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Majelis Seni Budaja Islam (MASBI) juga mendukung Parmusi.

Soeharto kemudian melakukan penyederhanaan partai, sehingga pada 5 Januari 1973, Parmusi dan beberapa ormas Islam lainnya menyatu menjadi Partai Persatuan Pembangunan dengan ketuanya Mohammad Syafaat Mintaredja.

Walhasil, kini waktu-waktu yang menentukan bagi Jokowi. Apakah ia ingin dikenang sebagai presiden yang demokratis atau otoriter. Bila ia ingin pemerintahannya berjalan mulus sampai 2024 ia mesti membebaskan tahanan-tahanan politik yang ada, seperti: Habib Rizieq, Zaim Saidi, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Shabri Lubis dan lain-lain.

Mereka yang bergelut dalam politik Indonesia ‘yakin’ selama tiga tahun ini tidak akan terjadi revolusi. Bangsa Indonesia setelah peristiwa 1965 dan 1998, seperti trauma dengan revolusi. Apalagi kini kepolisian dan tentara solid di bawah Jokowi. Fraksi di DPR/MPR pun mayoritas pendukung istana.

Saatnya Jokowi mengambil kebaikan dari presiden sebelumnya, Soeharto dan Habibie. Wallahu azizun hakim.

Nuim Hidayat
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok

Artikel Terkait

Back to top button