NUIM HIDAYAT

Kedekatan Ulama dan Penguasa: Tradisi Melayu

Kitab itu juga menjelaskan sifat ihsan dan adil yang harus dimiliki para raja. Raja adil adalah raja yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, memperhatikan kondisi sosial rakyatnya, menganjurkan kebajikan dan melarang keburukan, melindungi rakyat dari kejahatan, serta menjadi mirip wali atau nabi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Selain, Bukhari al-Jauhari, Nuruddin ar-Raniri juga menulis kitab penting tentang politik dengan judul Bustanus Salatin (1630). Buku ini menjadi pedoman Raja Iskandar Tsani. Kitab ini terdiri dari tujuh buku. Buku pertama tentang penciptaan dunia, kemudian sejarah para nabi dan para raja dari masa pra-Islam. Buku kedua tentang sejarah Islam di Asia Tenggara, berpusat pada Kerajaan Malaka, Pahang, dan Aceh. Buku ketiga sampai keenam tentang panduan politik dan nasihat bagi para raja, didasarkan pada kisah-kisah yang berkaitan dengan khalifah atau raja dulu. Buku ketujuh tentang prestasi ilmiah kaum Muslim dalam bidang filsafat, anatomi, dan kedokteran.

Sebagaimana raja di Aceh yang menerapkan Islam dalam kekuasaannya, raja di Jawa pun demikian. Sultan Agung, Raja Mataram, menerapkan syariat Islam di wilayah Jawa. Dia bahkan mengubah sistem kalender Jawa dari kalender Matahari Saka Hindu ke kalender campuran bulan Islam Islam-Jawa (Lihat Ricklefs dalam Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan).

Raja-raja Mataram setelah Sultan Agung, seperti Pakubuwono II, juga memiliki perhatian terhadap perkembangan Islam. Ia bekerja sama dengan para kiai mendirikan pesantren-pesantren di daerah-daerah Jawa. Di antara pesantren yang terkenal adalah Pesantren Tegalsari. Bila di Jawa tumbuh pesantren, di Minangkabau tumbuh surau dan di Aceh tumbuh dayah.

Selain pesantren, hal yang membantu dalam penyebaran Islam adalah perjalanan ibadah haji. Pemerintah Inggris dan kolonial Belanda saat itu sangat khawatir dengan orang-orang yang telah berhaji ke Makkah ini. Thomas Stamford Raffles (1811-1816) sangat mengkhawatirkan keberadaan para haji ini yang mengancam kekuasaan kolonial. Pada 1664, VOC pernah melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Makkah untuk mendarat di Nusantara.

Alasan VOC, “Kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius.” Pada 1716, VOC membolehkan sepuluh orang yang telah berhaji untuk tinggal dengan pengawasan yang ketat. Sementara, Raffles, dalam sebuah laporannya 10 Juni 1811, menulis, “Dengan dalih mengajar orang-orang Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muhammad, menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran dan membuat mereka tidak mampu menerima suatu jenis pengetahuan yang berguna.”

Nasihat ulama kepada raja

Para ulama menulis kitab, selain ditujukan kepada masyarakat, terutama ditujukan kepada raja. Dalam kitabnya Bustanul Katibin, ulama besar Raja Ali Haji (1808-1873) misalnya, menulis ten tang kejayaan dan kehinaan sebuah bangsa. Kata hukama, “Al fadhlu bil aqli wal adabu, la bil ahli wan nasabi”, artinya kelebihan itu pada akal dan adab dan bukan karena bangsa dan dan asal (nasab). Maka, terangnya, “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu, akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga yang akan diperolehnya.”

Dalam mukadimah kitab itu, Raja Ali Haji, penasihat raja, mengutip hadis Rasulullah Saw yang terkenal: “Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad-diin).” Kemudian, Ali Haji menyatakan, “Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama husnu haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan.” Di sini, Ali Haji mengaitkan hubungan yang erat antara ilmu, akal, dan adab. Artinya, agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau bangsa menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas lagi, Ali Haji menyatakan: “Man sa’a adabahu dha’an nas bahu, artinya barang siapa jahat adabnya, maka sia-sialah bangsanya.”

Selain itu, ulama, penasihat raja dan sastrawan dari Riau ini juga menjelaskan tentang tanda-tanda orang ber akal. Ia mengungkapkan: “Dan lagi kata hukama, bermula itu akal basra’atul fahm, artinya, tanda berakal segera paham dan buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya bersahabat dengan orangorang pilihan di antara orang-orang yang baik.”

Kemudian, Ali Haji menunjukkan hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/ bahasa). “Adapun kelebihan ilmu walkalam amat besar sehingganya mengatakan setengah hukama, segala pekerjaan pedang bisa diperbuat dengan kalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan kalam tidak bisa diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris kalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pe dang sekali.”

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button