NUIM HIDAYAT

Kedekatan Ulama dan Penguasa: Tradisi Melayu

Dalam “Gurindam 12”, Raja Ali Haji juga menasihatkan penguasa agar tidak zalim, dengki, dan bohong. Ia menulis: Hati kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun roboh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah.Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, disitulah banyak orang yang tergelincir.

Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di ke pala. Jika sedikit pun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri.

Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu.

Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.

Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al-Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat. Ia menulis: “Aku berharap semoga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai ke puncak peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat, dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu.

Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidup kanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).

Sedangkan di Jawa, Sunan Kalijaga dalam nasihatnya menyatakan bahwa jika kelak seorang menjadi raja, maka pekerjakanlah orang yang baik, seperti yang dimetaforakan dengan empat hal, yakni wanita, keris, intan, dan burung. Wanita melambangkan bahwa ia harus bertutur halus dan tertib dalam bersikap. Keris, harus tajam pikirannya dan ahli berperang. Intan, ia harus memiliki hati dan pikiran yang bening. Sedangkan burung, memiliki makna mengetahui hal yang tersamar, yang baik, dan yang buruk. (lihat www.nu.or.id/a,publicm, dina mics,detail-ids,44id,47585lang, idc,nasionalt,Tiga+Nasehat+Sunan+Kalij aga+kepada+Sutawijaya-.phpx).

Namun, selain menjalankan empat hal tersebut, seorang raja juga harus hati-hati karena ada empat pantangan yang harus dihindari. Pertama, bersenang-senang, berjudi hingga menghabiskan harta benda. Kedua, gemar bercinta atau main perempuan sehingga lalai pada tugas dan kewajibannya. Ketiga, suka berotak kosong, yakni sering menghabiskan waktu hanya untuk makan dan minum, tidak mau belajar atau membaca. Keempat, melupakan asal mula dan menganggap kedudukannya sebagai raja adalah berkat kehebatan dirinya sendiri. []

Nuim Hidayat, Penulis Imperialisme Baru

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button