SUARA PEMBACA

Korupsi Tak Pernah Mati, Apa Solusinya?

Kasus korupsi tak pernah mati. Dalam sebulan terakhir berseliweran berita media massa terkait korupsi. Mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Ragam kasusnya pun semakin berkembang. Dari pajak, e-KTP hingga bansos. Tapi sayangnya gunus es korupsi, kurang ‘diperhatikan’ pemerintah. Terbukti dengan upaya pelemahan KPK secara sistemik. Termasuk tak disinggungnya isu korupsi dalam pidato kenegaraan oleh presiden Jokowi di Sidang Tahunan MPR.

Telaah realitas menunjukkan bahwa benang kusut korupsi tercipta karena dalam sistem demokrasi sekuler terbuka peluang korupsi baik skala individu maupun jamaah. Misalnya mahalnya mahar politik untuk menjadi pejabat sehingga korupsi jadi sarana untuk balik modal; proses pembuatan undang-undang yang sarat kepentingan kelompok terutama pemilik kapital; sikap menggampangkan sanksi karena memang hukum dapat dipermainkan atau diperjualbelikan. Jadi korupsi ini merupakan permasalahan sistemik bukan semata rezim.

Kegagalan sistem sekuler mengatasi korupsi, lazimnya membuka paradigma bahwa solusi dengan syariat Islam tidak dapat ditawar lagi. Penerapannya mendasarkan pada kewajiban yang Allah SWT perintahkan. Kewajiban setiap muslim untuk selalu terikat pada hukum syara’ dan tidak memilah-milah syari’at Allah sesuai mashlahat atau kepentingan. Jadi sudah seharusnya Negeri yang mayoritas muslim ini mendudukkan syariat Allah di atas semua hukum positif yang sedang berlaku.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Q.S Al Maidah ayat 50)

Islam dengan syariatnya mempunyai langkah preventif dan kuratif terhadap tindak korupsi. Ada empat langkah preventif yang diatur oleh syari’at. Pertama sistem penggajian yang layak pada pegawai dan pejabat pemerintahan. Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Terkait suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Sedangkan terkait hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).

Ketiga, perhitungan kekayaan atau pembuktian terbalik. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dengan cara halal. Bila gagal, Umar memerintahkannya untuk menyerahkan kelebihan harta kepada Baitul Mal, atau membagi kekayaan itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara.

Keempat, keteladanan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil apabila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Ketakwaan akan menjadikan pemimpin melaksanakan kewajiban dengan penuh amanah. Pemimpin tersebut akan takut melakukan penyimpangan, karena Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Langkah kuratif ditujukan pada orang yang telah terbukti dalam pengadilan melakukan tindak korupsi. Hukuman ini diberikan agar dapat memberikan efek jera dan mencegah orang lain berbuat hal yang sama. Syariat Islam memberikan sanksi untuk koruptor berupa hukum ta’zir. Keputusan hukuman ini diserahkan kepada qadhi (hakim) untuk memutuskannya. Ta’zir koruptor dapat berupa tasyhir atau pewartaan (di-blow up pada media massa), penyitaan harta, hukuman penjara, cambuk bahkan sampai hukuman mati.

Pemberantasan korupsi tidak akan berimpak apabila syariat Islam yang diterapkan bersifat parsial, misalnya aspek sanksi saja. Tetapi akan berhasil secara sempurna apabila diterapkan dalam masyarakat Islam secara menyeluruh (kaffah) baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial, sanksi dan lain sebagainya. Karena penerapan syariat Islam bersifat integral dan berkaitan satu sama lainnya.

Selain itu terdapat sinergitas peran indivu yang bertakwa, kontrol masyarakat dalam amar ma’ruf nahi ‘anil munkar dan negara dalam penerapan syariat. Jadi kehidupan bernegara bermuara pada ridha Allah semata. Sedangkan kemaslahatan yang diperoleh hanyalah buah dari ketaatan pada perintah Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Desti Ritdamaya, Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button