Lebih Baik Dipaksa Masuk Surga daripada Ikhlas Masuk Neraka
Dalam sebuah seminar tentang liberalisasi agama di awal tahun 2000, saya menyampaikan, “Bagi saya, lebih baik saya dipaksa masuk surga daripada dengan ikhlas masuk neraka.”
Misalnya, jika di komplek perumahan saya, diterapkan peraturan yang mengharuskan berjamaah shalat subuh, saya setuju. Yang tidak berjamaah subuh dan tidak ada udzur syar’i, maka harus infak, misalnya, Rp10 ribu. Saya setuju dengan aturan itu, sebab itu bisa mendorong saya untuk melaksanakan kebaikan.
Saya menyadari kelemahan diri saya. Terkadang untuk melakukan kebaikan, perlu dipaksa. Itu bisa dilakukan dengan menerapkan peraturan tertentu. Para santri di pesantren pun banyak yang memerlukan pemaksaan agar mereka menjadi semakin baik. Reward and punishment adalah hal yang wajar dalam dunia pendidikan.
Pemerintah pun tidak bisa mengharapkan semua rakyat melakukan kebaikan secara sukarela. Untuk memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, dalam rangka mengurangi resiko penyebaran virus Corona, pemerintah juga menggunakan jalan pemaksaan, dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
Untuk mendisiplinkan para pengendara motor agar mereka selamat, maka polisi juga menggunaan paksaan dalam pemakaian helm. Para pengendara motor tidak dibenarkan untuk berargumentasi bahwa urusan “kepala” mereka adalah urusan pribadi, bukan urusan publik.
Urusan penggunaan helm bagi pengendara motor, bukan sukarela! Tapi diwajibkan. Suka atau tidak! Sadar atau tidak! Pengendara motor wajib pakai helm! Jenis helm pun ditentukan. Tidak ada multi-tafsir dalam soal helm. Hanya ada satu tafsir yang dipakai dalam soal helm!
Itu baru urusan helm; urusan keselamatan dunia. Bagaimana dengan keselamatan akhirat? Bolehkah pemerintah, misalnya, memaksa rakyatnya untuk melakukan ibadah kepada Allah, agar mereka selamat di akhirat? Misalnya, bolehkah pemerintah melarang perzinahan, melarang perjudian, melarang telanjang di kendaraan umum?
Sebaliknya, bolehkah rakyat berpendapat, bahwa soal hubungan perzinahan adalah urusan privat, negara jangan campur tangan? Bolehkah rakyat berpendapat bahwa urusan perjudian adalah urusan kesepakatan pribadi dan suka sama suka, tanpa ada paksaan? Ternyata, demi kemaslahatan umum, pemerintah Indonesia memilih memberikan paksaan kepada rakyat agar tidak berjudi dan berzina di muka umum.
Jilbab
Menurut ulama internasional Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Di antara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.