FIQH NISA

Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-5-Habis)

Ketiga, bahwa kaidah “al-wasîlah ilâ al-harâm muharramah (sarana yang dapat mengantarkan kepada sesuatu yang haram, hukumnya adalah haram) tidak bisa diterapkan atas pengharaman menampakkan wajah dengan alasan khawatir akan terjadi fitnah. Sebab, kaidah ini mengharuskan terpenuhinya dua hal: pertama, sarana yang dimaksud (minimal) berdasarkan dugaan kuat akan mengantarkan kepada sesuatu yang haram. Kedua, keharaman yang diakibatkan oleh sarana itu harus ada nash yang menyatakan keharamannya dan bukan sesuatu nyang diharamkan oleh akal. Kedua hal tersebut tidak terdapat dalam topik haramnya menampakkan wajah karena kekhawatiran akan munculnya fitnah.

Atas dasar ini, masalah haramnya menampakkan wajah karena khawatir akan muncul fitnah tidak sesuai dengan kaedah pengharaman sesuatu yang menjadi wasilah yang mengantarkan kepada suatu keharaman –dengan asumsi bahwa fitnah itu secara syar’i haram atas orang yang terfitnah–. Karena menurut dugaan kuat menampakkan wajah itu tidak menyebabkan terjadinya fitnah.

Apalagi kekhawatiran munculnya fitnah itu tidak terdapat satu nash pun yang menyatakannya sebagai sesuatu yang haram. Bahkan, syara’ (dalam konteks ini) tidak mengharamkan fitnah itu sendiri atas orang yang membuat fitnah terhadap orang-orang (dalam hal ini, wanita yang menampakkan wajahnya, pen). Syara’ mengharamkan fitnah itu atas orang yang memandang wanita dengan pandangan yang akan menimbulkan fitnah bagi dirinya. Sebaliknya syara’ tidak mengharamkan hal itu atas orang yang dipandang.

Imam al-Bukhârî telah meriwayatkan dari Abdullâh ibn ’Abbâs ra, ia berkata: “Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi Saw, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.” Yakni Rasulullah Saw memalingkan wajah al-Fadhl dari memandang wanita itu. Hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam riwayat yang lain: “Maka Rasulullah Saw memegang al-Fadhl dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.”

Kisah ini diriwayatkan oleh ‘Alî ibn Abî Thâlib ra dan ia menambahkan: “Al-‘Abbâs ra kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher sepupumu?” Rasulullah Saw menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”

Dari hadits terserbut jelaslah bahwa Rasulullah Saw memalingkan wajah al-Fadhl dari memandang wanita dari Bani Khats’am itu. Sebaliknya, Rasul Saw tidak memerintahkan wanita itu agar menutupi wajahnya, padahal wajah itu jelas tampak bagi beliau.

Seandainya fitnah itu diharamkan atas orang yang menjadi asal fitnah, maka Rasulullah Saw pasti telah memerintahkan wanita dari Bani Khats’am itu untuk menutupi wajahnya setelah terjadinya pandangan al-Fadhl terhadapnya dengan pandangan yang menyebabkan fitnah. Namun, beliau tidak menyuruh wanita dari Bani Khats’am itu untuk menutupi wajahnya. Sebaliknya beliau malah memalingkan wajah Fadhl. Hal itu menunjukkan bahwa pengharaman tersebut ditujukan bagi orang yang memandang (pria), bukan bagi orang yang dipandang (wanita).

Atas dasar ini, pengharaman munculnya fitnah karena (memandang) wanita, sebetulnya tidak terdapat satu nash pun yang mengharamkannya atas wanita yang menimbulkan fitnah. Bahkan, terdapat nash yang justru menunjukkan tidak adanya pengharaman fitnah tersebut atas wanita, sehingga apa yang dapat menimbulkan fitnah itu tidaklah haram.

Hanya saja, negara (Islam) –sebagai bagian dari aktivitas ri’ayah asy-syu’un– boleh menjauhkan seseorang tertentu dari pandangan orangorang yang terfitnah karena memandang seseorang itu. Hal itu sebagai upaya untuk mewujudkan penghalang antara seseorang yang dapat menyebabkan terjadinya fitnah dengan masyarakat jika fitnah yang muncul karena seseorang itu menimpa masyarakat secara umum.

Aktivitas itu sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb terhadap Nashr ibn Hajjaj. Yaitu ketika Umar mengasingkannya ke Bashrah karena banyak wanita terfitnah (tergoda) oleh ketampanannya. Hal semacam itu bersifat umum bisa terjadi baik pada pria maupun wanita.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button