NUIM HIDAYAT

Orde Jokowi: Melawankan Kembali Pancasila dengan Islam

Penelitian ini tentu bisa dikritisi. Apa maksudnya melawankan Islam dengan Pancasila? Bila sebuah partai (atau kelompok masyarakat) ingin berlakunya hukum atau nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa secara konstitusional apakah tidak Pancasilais? Pancasila adalah ideologi terbuka. Ia tidak menolak adanya Islamisasi dalam kehidupan masyarakat. Bahkan bila dikaji secara serius, Pancasila penuh dengan nilai-nilai Islam. Kata adil, adab, rakyat, hikmah, musyawarah adalah kosa kata Islam.

Memang dalam sejarahnya, penafsiran Pancasila tergantung presidennya. Soekarno membawa Pancasila ke arah kiri (pro komunisme), Soeharto membawa ke arah sekuler (kapitalis), kecuali sepuluh tahun akhir pemerintahannya. Gus Dur dan Megawati ke arah kiri dan sekuler. Habibie dan SBY membawa ke arah tengah (demokrasi). Sedangkan Jokowi meniru Soekarno membawa ke arah kiri atau meniru Soeharto di periode awal pemerintahannya. Melawankan kaum Islamis dengan Pancasila.

***

Bukan hanya Greg Fealy, jurnalis asal Amerika Ben Bland juga mengritik tajam Jokowi. Ben menulis buku Man of Contradictions, Joko Widodo an The Struggle to Remake Indonesia (2020). Ia mengutip rekannya sesama jurnalis, Robert Caro yang sering menulis buku biografi tokoh politik. Menurut Caro, kekuasaan selalu mengungkap sesuatu, Makin kuat kaki-kaki Jokowi menjejak bangunan kekuasaan politik, makin terungkap pula bangunan kontradiksi yang sebenarnya sejak awal dia miliki.

Sejak awal, menurut Bend, Jokowi memahami politik dari sudut pandang seorang pembuat mebel…Dibesarkan di Era Orde Baru, pemahaman politik dan ekonomi Jokowi dinilai lebih dekat kepada Soeharto ketimbang Soekarno, bapak ideologis partainya, PDIP. Dalam banyak kesempatan, Jokowi tak punya figur teladan dalam dunia politik dan tidak terlalu tertarik pada berbagai teori politik maupun ekonomi. Menurut Ben, Jokowi dibentuk oleh tindakan dan pengalaman, bukan konsep atau abstraksi.

Pengamat politik Australian National University, Eve Warburton menyatakan,”Proses pengambilan keputusan Presiden Jokowi kerap membingungkan, tidak konsisten dan tiba-tiba. Orang-orang di sekelilingnya kerap terkejut dengan keputusan Jokowi yang menunjukkan betapa tidak jelasnya proses pengambilan keputusan di Istana,” kata Eve. Dia menyebut proses pengambilan keputusan Jokowi sebagai “black box” yang penuh misteri.

Burhanuddin Muhtadi yang selama ini terlihat dalam penelitiannya mendukung Presiden Jokowi juga melontarkan kritiknya. “Karakter pemerintahan Jokowi menunjukkan indikasi besarnya pengaruh para pengusaha oligarki, ” terangnya dalam sebuah seminar di Australia. Ia mengulas peristiwa pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penunjukkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, awal 2015 lalu (yang akhirnya gagal dan sebagai gantinya Budi ditunjuk sebagai Direktur BIN).

***

Kritik keras dan tajam sebenarnya juga disampaikan Tim Prabowo Sandi dalam Pilpres 2019 lalu. “Berkaitan dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, maka sudah muncul pandangan bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai ciri kepadanya,” demikian gugatan Prabowo yang diberikan kuasa ke Bambang Widjojanto dkk yang dikutip Jumat (31/5/2019).

Pernyataan Tim Prabowo-Sandi ini merujuk pada pendapat Guru Besar Hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Tim Lindsey, yang pernah menulis sebuah artikel yang berjudul, “Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order’.

Ketua PP Muhammadiyah Busyo Muqoddas menyatakan, ada kesamaan situasi kini dengan Orde Baru. Pemerintah otoriter. Dimana masyarak tidak bebas lagi dalam menyampaikan aspirasinya mengritik presiden. Diantarnya, penggunaan teror-teror melalui peretasan alat-alat komunikasi dan teror kepada aktivis kampus. Ia mengungkit teror kepada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ketika akan menggelar diskusi tentang tinjauan konstitusionalitas pemberhentian presiden dengan mengundang Guru Besar Universitas Islam Indonesia Nikmatul Huda. Sampai sekarang, kata Busyro, pelaporan ke Kepolisian Daerah Yogyakarta terkait peretasan itu tak memberikan hasil yang memuaskan.

Walhasil, kini banyak para pengamat politik dan tokoh –luar negeri dan Indonesia- yang kini kritik tajam pada Jokowi. Bahkan beberapa tokoh dan media yang dulu berharap pada Jokowi kini kecewa. Goenawan Mohamad dan Majalah Tempo contohnya. Goenawan dalam Catatan Pinggirnya pernah menulis tentang Familikrasi, ketika peristiwa anak dan menantu Jokowi ramai-ramai ikut Pilkada. Majalah Tempo pun kini dalam tiap edisinya sering menampilkan kebobrokan kebijakan presiden dan menteri-menterinya.

Pepatah politik kuno menyatakan bahwa ikan busuk dari kepalanya. Melihat kebijakan-kebijakan pemerintah yang banyak anti Islam ini, Fadli Zon dengan geram menyatakan,”Istana banyak genderuwonya.”

Wallahu azizun hakim.

Nuim Hidayat
Penulis Buku ‘Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah’.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button