OPINI

Otokritik untuk Pegiat Ekonomi Islam di Masa Pandemi

Jujur, harapan tersisa dari tiga pilar ekonomi Islam yang ada tinggal ZISWAF ini. Tapi kita harus sadar pula dengan keterbatasan yang dimiliki seluruh organisasi ZISWAF yang ada. Apalagi tupoksinya prioritas hanya untuk kaum muslimin. Jika pun diberikan untuk non-muslim selain dana zakat. Inilah yang memicu ‘tuduhan’ beberapa waktu terakhir karena BAZNAS RI dianggap bantuannya tidak tepat sasaran sesuai kaidah Islam karena membagi pula kepada non-muslim.

Belum reda riak itu konflik di Pemprov Bangka-Belitung yang baru saja terjadi terkait bantuan sosial dari BAZNAS Babel yang dikoordinir Dinsos berbuntut pada pengunduran diri Kadinsosnya sebab mempersyaratkan penerima bansos hanya dari umat Islam. Sekali lagi ini menjadi kesimpulan sehebat apa pun organisasi ZISWAF berbuat tetap bukan ranah utamanya untuk krisis nasional ini. Sebab sejatinya semua persoalan kesejahteraan itu bisa diatasi tatkala negara hadir membersamai rakyatnya.

Lalu, di mana kini sepaket aparatur negara terutama yang ada di pusat saat rakyatnya mulai kehilangan arah yang dipicu dari urusan ‘perut’ seperti anak ayam kehilangan induk?

Antitesis yang diuraikan di atas kembali menguatkan sintesis yang disampaikan di awal: bahwa sejatinya ekonomi Islam tidak bisa dipisahkan dengan politik Islam. Kedua hal ini ibarat dua sisi mata uang. Ya, politik ekonomi Islam! Saling bersinergi membentuk sistem kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan yang bermuara pada pembuktian jati diri Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin. Maka jika ditanya kenapa hingga sekarang di dasawarsa ketiga perjuangan pembumian ekonomi Islam masih belum terasa ‘greget’-nya, itu karena masih parsial dan belum menyertakan ‘partner’ sejati dari ekonomi Islam itu sendiri (baca: politik Islam).

Logikanya, bagaimana mungkin kebijakan ekonomi pro-rakyat itu bisa diterapkan jika kekuasaan politiknya tidak dalam kendali? Bukankah salah satu hikmah hijrah Rasulullah dan kaum muslimin dahulu adalah untuk menerapkan politik ekonomi Islam di Madinah sebab di Mekah tak memungkinkan?

Semoga keresahan ‘orang kecil’ dan awam seperti saya mampu menggetarkan ghirah perjuangan para pegiat ekonomi Islam dan ekonomi syariah (sebab masih ada kesan dikotomi idealisme, pen), juga para politisi muslim untuk memulai kolaborasi sinergitas yang pernah teruji ampuh dalam sejarahnya ini agar krisis multidimensi di negeri ini dapat segera dientaskan.

Dan alhamdulillah, masih ada pelipur lara tatkala umat melihat masih ada sepak terjang beberapa tokoh nasional yang berani bersuara vokal. Sebut saja Dr. Rizal Ramli dan Dr. Ichsanuddin Noorsy, yang istiqamah meneriakkan lantang aspirasi politik ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button