OTT KPK, Membongkar Perseteruan Jokowi vs Mega Jilid 2?
1 Juli 2018 saya pernah menulis artikel berjudul “Babak Baru Jokowi vs PDIP.”. Artikel ini mengupas bagaimana perseteruan Jokowi-Mega yang tak kunjung reda sejak 2014, awal Jokowi berkuasa. Kelihatannya, perseteruan Jokowi-Mega belum juga berakhir, dan bahkan memasuki babak berikutnya di periode kedua kekuasaan Jokowi.
Ingat kata Mega: Jokowi itu petugas partai. Kalimat ini sangat populer. Publik menganggap, kalimat ini merendahkan Jokowi. Narasi dan sikap Mega diduga telah membuat Jokowi merasa tidak nyaman. Tak jarang jadi bahan olok-olok mereka yang kontra Jokowi.
Sangat sederhana untuk memahaminya. Diawali dari pertanyaan: Mengapa Mega ungkapkan kalimat itu di depan publik? Kenapa tidak dipidatokan di internal partai secara tertutup? Jauh lebih elegan jika dibicarakan di ruang terbatas. Kenapa di depan umum? Kemungkinan pertama, Mega ingin semua kader partai tahu. Siapapun yang jadi pejabat, dia tetap kader dan petugas partai. Karena itu, mesti loyal kepada partai. Dan otoritas partai ada di ketua umum.
Kedua, boleh jadi karena Jokowi dianggap tidak nurut dan “sendiko dawuh” pada Mega. Gak loyal!
Indikator yang paling mudah untuk dilihat adalah saat penyusunan kabinet 2014-2019. PDIP dengan 109 kursi hanya diberi empat menteri. Sama jumlahnya dengan PKB yang hanya punya 47 kursi. Hal ini menuai protes dari kader PDIP. Jokowi pun tutup mata dan telinga. Ini yang terlihat publik. Tentu, dinamika penggung belakang lebih seru.
Kehadiran Ahok di pilgub DKI 2017 sempat mendamaikan kedua tokoh ini. PDIP kasih tiket ke Ahok, Budi Gunawan, orang dekat Mega menjadi ketua BIN. Win Win solution. Ada deal. Apakah masuknya Budi Gunawan otomatis membuat hubungan Jokowi-Mega mesra kembali? Ternyata tidak!
Jokowi-Mega berseteru lagi di Pilgub 2018. Terutama di Jabar dan Jatim. Calon Jokowi dan Mega berbeda. Jokowi dukung Khofifah di Jawa Timur dan Ridawan Kamil di Jawa Barat. Mega dukung Syaefullah Yusuf di Jawa Timur dan TB. Hasanuddin di Jawa Barat. Dua calon Mega keok.
Bagaimana di periode kedua Jokowi? Hubungan Jokowi-Mega rekat lagi? Saat kampanye, iya. Mereka bersama-sama dalam satu kepentingan: Jokowi dan PDIP menang. Jokowi jadi presiden dan PDIP dapat 128 Kursi.
Kerja bersama Jokowi-Mega diuji lagi saat menyusun kabinet 2019-2024. Menggandeng Prabowo dan Gerindra, Mega berharap bisa pressure Jokowi untuk keluar dari tekanan kubu Luhut Binsar Panjaitan (LBP) cs. Gak tanggung-tanggung, Mega minta 10 menteri. Jokowi penuhi? Tidak. Jokowi hanya kasih PDIP empat menteri, yaitu Menkum HAM, Menpan, Mensoso dan menteri PPPA. Empat-empatnya tidak strategis. Tidak strategis secara finansial, maupun politik.
Mendagri yang semula milik PDIP, 2014-2019 dijabat Cahyo Kumolo, lepas. Padahal, tahun 2022 dan 2023, ada 2/3 gubernur habis masa baktinya dan diganti plt. Lebih dari separuh bupati/walikota juga habis waktunya dan diganti plt. Sementara, jabatan plt ada dalam kendali mendagri yang saat ini dijabat Tito Karnavian. Tidak lagi di tangan PDIP.
Kenapa posisi mendagri tidak diberikan kepada kader PDIP? Tentu Jokowi punya kalkulasi sendiri terkait skenario politik dan kepentingannya di pilpres 2024.
Yang jelas, dengan posisi Kemendagri saat ini Tito Karnavian lebih dipercaya Jokowi dari pada PDIP atau Budi Gunawan.
Upaya PDIP menggandeng Gerindra untuk menekan Jokowi agar tak terlalu dekat dan dikendalikan LBP cs (Jenderal Merah), tak berhasil. Nampaknya, Jokowi lebih nyaman dengan LBP dari pada dengan Mega. LBP tetap Menko Maritim, ditambah kewenangannya di bidang investasi. Ditambah dua orang dekat LBP yaitu Mahfudz MD yang menduduki posisi sebagai Menkopolhukam dan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama.
Dalam kondisi seperti ini, apakah Mega dan PDIP diam? Sepertinya tidak. PDIP mulai kritis terhadap Jokowi. Dalam kasus PT. Jiwasraya, PDIP adalah partai yang paling bersemangat menginisiasi dibentuknya Pansus. Tentu, ini membuat gerah istana.
Apakah tertangkapnya sejumlah kader PDIP oleh KPK dalam kasus suap komisioner KPU yang diduga melibatkan Hasto, sekjen PDIP, ada hubungannya dengan kegerahan istana terhadap berbagai manuver partai banteng ini? Masih perlu dibuktikan. Yang jelas, kasus hukum seringkali tak berdiri sendiri. Politik kerapkali punya ruang untuk intervensi. Apalagi KPK berada dalam kendali Dewan Pengawas. Dan Dewan Pengawas dipilih oleh presiden. Kita tunggu cerita selanjutnya.
Jakarta, 11/1/2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa