OPINI

Pancasila, Ulama dan Tafsir Tunggal

Sebut saja dalam rumusan Pancasila terdapat kata adab, adil, musyawarah, hikmah, wakil, dan yang sangat nyata adalah kalimat “berkat rahmat Allah”. Kalimat-kalimat itu tidak mungkin terlontar dari seorang yang berpendidikan sekuler. Jika rumusan itu muncul dari seseorang yang berpikir sekuler maka yang akan mendominasi sila-sila dalam Pancasila adalah kata-kata demokrasi, gotong royong, nasionalisme, internasionalisme.

Para ulama yang terlibat dalam perumusan Pancasila itu adalah para ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.

Abikoesno yang merupakan adik kandung dari Tjokroaminoto adalah figur yang dibesarkan dalam lingkungan Sarikat Islam yang memiliki pandangan Islam ideologis yang kuat. Selain Abikoesno, tiga yang lainnya, Agus Salim, Kahar Muzakkir dan Wahid Hasyim adalah ulama yang intelektualnya terbentuk di Indonesia, Mekkah dan Kairo. Agus Salim lama bermukim di Mekkah. Bekerja pada Konsul Belanda dan belajar agama pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. (Syahrul Efendi, 2015)

Pola dakwah dalam Islamisasi bahasa ini merupakan tradisi dakwah yang telah diwariskan oleh para penyebar awal agama Islam di Indonesia. Dahulu, untuk mengetahui suatu kampung atau daerah sudah masuk ajaran Islam atau belum dapat dilihat dari penggunaan nama seseorang. Jika suatu kampung sudah bernama Abdurrahman, Abdulllah, Muhammad maka sudah dipastikan kampung itu sudah menganut agama Islam.

Islamisasi bahasa yang lebih luas dapat dilihat dari penguasaan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang menjadi bahasa perdagangan di Nusantara. Bahasa Indonesia yang saat ini dijadikan bahasa nasional rupanya banyak menyerap bahasa Arab. Sebut saja kata sabar, murid, waktu, sejarah, mungkin, sedekah, pikir, sahabat dan yang lainnya.

Dampaknya dari Islamisasi bahasa itu akan mengubah cara pandang seseorang dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Sebelum Islam datang pengagungan seseorang kepada yang lebih tinggi itu ada pada alam, sehingga nama seseorang dikaitkan dengan nama-nama binatang seperti Walang Sungsang, Walang Keke, Gajah Mada. Islam datang dengan pengagungan semata kepada Allah SWT sebagai Tuhan Pencipta Alam.

Dari Islamisasi Bahasa itu, di dalam rumusan Pancasila pun mengubah cara pandang seseorang, sebagai contoh kata musyawarah tidak sama dengan demokrasi, kata hikmah tidak sama dengan suara terbanyak dan kata adab tidak sama dengan sopan santu bahkan adil tidak sama dengan makna sama rata. Maka hanya Al-Qur’an-lah yang dapat menafsirkannya. (Adian Husaini, 2012)

Dari cara pandang Pancasila, sila “ketuhanan” yang di tempatkan di urutan pertama dan mejadi benang merah seluruh sila, lagi-lagi bukanlah kerjaan seorang yang berpandangan sekuler. Soekarno sendiri dalam rumusannya yang disampaikan di siding BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 menempatkan sila ketuhanan di urutan paling akhir.

Susunan kalimat yang sangat indah juga terlihat dalam pembukaan UUD 45 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur … “. Jelas-jelas ini adalah pola berpikir yang sesuai dengan rumusan Ahlu Sunnah wal Jamaah, bukan Mu’tazilah yang hanya mengedepankan akal dan bukan Jabariyah yang hanya mengedepankan usaha manusia saja. Bahkan bukan pandangan sekuler dan liberal yang meminggirkan tuhan dan agama dari ruang publik.

Tafsir Tunggal

Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI ke-7 yang didukung oleh Partai yang dipimpin oleh puteri dari Presiden Soekarno membuat Pancasila diarahkan kembali untuk ditafsirkan tunggal oleh negara. Diawali dengan dijadikannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila, dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan persetujuan Rancangan UU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi inisiatif DPR RI adalah upaya-upaya untuk menggiring negara ini kepada penasiran Pancasila sesuai dengan pemikiran Soekarno.

Di dalam draft RUU HIP sangat jelas tafsir Soekarno yang menjadikan gotong royong yang menjiwai seluruh sila-sila dalam Pancasila. Hal ini berbeda jauh dengan rumusan Pancasila saat ini, sila ke-Tuhanan-lah yang menjiwai seluruh sila-sila yang ada di dalam Pancasila.

Jika hal ini terus berlanjut dan dilakukan, maka Pancasila sebagai “kalimatin sawa bainana wa bainahum (kalimat-kalimat yang sama antara kita sesama kita dan antara kita dengan mereka akan” akan memudar. Pancasila tidak lagi diterima semua golongan, Pancasila hanya milik golongan yang berhaluan Soekarnois. Maka hal ini akan membuat bangsa ini kemunduran, yang akhirnya mendorong golongan-golongan di luar kaum nasionalis akan menolak Pancasila, sebagaimana terjadi masa lampau.

Sebagai milik bersama, penulis sependapat dengan Yusril Ihza Mahendra bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap Pancasila itu kita serahkan kepada semua golongan, semua kelompok dan semua suku bangsa kita yang majemuk.

Kita tidak perlu mengulangi merumuskan “Eka Prasetya Pancakarsa” sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) seperti di zaman orde baru dahulu, yang akhirnya membuat tafsiran Pancasila sebagai doktrin yang mencerminkan paham sebuah rezim yang memerintah, yang justru potensial ditentang oleh golongan-golongan lain.

Ahmad Basori
Pemerhati Sosil Politik, tinggal di Kota Tangerang

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button