OPINI

Para Rambo di Medan Perang Corona

Ketika pemerintah sudah memutuskan tidak melakukan lockdown, masyarakat harus mengambil inisiatif sendiri. Tidak usah melow dan marah-marah. Negara tidak hadir melindungi rakyatnya. Toh kita sudah terbiasa

Para tenaga medis telah melancarkan kampanye “ Kami Tetap di Rumah Sakit DEMI ANDA. Anda tetap di rumah DEMI KAMI.” Apa sih susahnya?

Sayangnya masih banyak masyarakat yang menganggap remeh. Banyak di antaranya yang menggunakan alasan keyakinan dan agama.

Himbauan pemerintah, fatwa MUI dan himbauan para pemuka agama dianggap sebagai angin lalu. Seruan Presiden Jokowi untuk bekerja dan beraktivitas dari rumah, tak digubris.

Ada yang masih bersikap santai, dan menganggap remeh persoalan. Mereka tetap berkeliaran dan beraktivitas seperti biasa. Kegiatan keagamaan tetap normal, mall dan pusat pertokoan tetap buka, pesta pernikahan tetap digelar.

Di Samarinda seorang Wakil Wali Kota malah menggelar pesta pernikahan besar-besaran. Puluhan ribu orang diundang. Dia berkilah tawakal dan berserah diri kepada Allah SWT.

Seorang netizen menyebut perilaku semacam ini sebagai COVIDIOT. Perpaduan antara virus Covid-19 dan kelakuan idiot. Egois dan dungu!

Mereka tidak berpikir perilakunya bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Perilakunya bisa menyebabkan jumlah positif corona meningkat dan para tenaga medis tak mampu melayani.

Perilaku Covidiot ini tentu saja tidak berlaku bagi para pekerja harian.

Mereka yang hanya bisa makan bila tetap bekerja. Mereka dihadapkan pada pilihan: Tetap bekerja dan terpapar corona. Atau tidak bekerja, dan keluarga mati kelaparan. Tugas pemerintah untuk membantu dan memikirkannya.

Pilihan sulit

Para ahli sudah mengingatkan kemungkinan jumlah penderita di Indonesia akan meningkat drastis. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak akan memadai.

Dari ke hari jumlah yang positif terpapar dan meninggal dunia juga meningkat signifikan. Ada yang menduga jumlah sesungguhnya jauh lebih besar. Ada yang tak terdiagnosa dan tidak tercatat.

Jangan sampai kita mengalami peristiwa memilukan seperti Italia. Para dokter dihadapkan pilihan sangat-sangat sulit. Mereka terpaksa memilih (filterisasi) pasien mana yang masih bisa diselamatkan dan mana yang tidak.

Mereka tutup mata dan membiarkan pasien yang secara medis tak mungkin lagi diselamatkan. Biasanya yang menjadi korban filterisasi adalah pasien yang berusia tua.

Seorang dokter disumpah untuk menghormati kehidupan. Satu nyawapun, bahkan sejak masih berbentuk janin harus dihormati. Namun ketika jumlah pasien membludak tak tertangani. Tenaga dan kemampuan terbatas. Nyawa mereka sendiri terancam. Apa yang harus dilakukan. Mereka terpaksa harus memilih.

Sungguh sebuah dilema profesi yang sangat berat. Bukan hanya tragedi atas profesi kedokteran, tapi menjadi tragedi bangsa. end

HERSUBENO ARIEF

sumber: facebook Hersubeno Arief

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button