Pembantaian Talangsari 1989: Mungkinkah Hendropriyono Diadili?
Hingga hari ini, pembantaian warga sipil di Umbul Cihideung, yang dikenal dengan Peristiwa Talangsari, masih belum diselesaikan secara tuntas. Pelanggaran HAM berat ini terjadi ketika hubungan pemerintah Orde Baru dengan umat Islam berada pada titik rendah.
Pembantaian pada 7 Februari 1989 itu tidak bisa dilaporkan secara objektif oleh media massa waktu itu. Semua suratkabar hanya mengutip sumber resmi. Dan pemberitaan serta analisis yang disajikan pun cenderung memberikan justifikasi atas tindakan penguasa waktu itu.
Sumber resmi (Pangdam Sriwijaya) ketika itu mengatakan 29 orang yang tewas. Namun, penyelidikan pasca-Resformasi menemukan setidaknya 130 orang yang dibunuh. Temuan lain menyebutkan 246 warga Cihideung dibantai.
Setelah Soeharto lengser pada Mei 1999, media massa menjadi bebas. Begitu juga perpolitikan dan penegakan hukum mengalami perbaikan. Independensi DPR dan cabang-cabang kekuasan lainnya, mulai tumbuh. Ada reformasi besar-besaran. Meskipun dalam beberapa tahun ini suasana reformasi mundur lagi ke suasana Orde Baru.
Kebebasan pers dan independensi baru setelah Reformasi membuat pembantaian Talangsari bisa diungkap kembali. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pada 7 Juni 1993 bisa bekerja lebih leluasa.
Komnas membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talagsari 1989 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim Ad Hoc terdiri dari anggota dan staf Komnas HAM serta unsur dari masyarakat. Tim bekerja sejak 1 Mei 2007 sampai 31 Juli 2008.
Tim menemukan setidaknya 130 orang tewas dan 109 rumah terbakar atau rusak. Tim Ad Hoc Talangsari 1989, dengan laporan tertanggal 31 Januari 2008, mengatakan bahwa: “Penyerangan terhadap komplek pondok Warsidi yang menyebabkan meninggalnya 130 orang melibatkan peleton dari infanteri Korem 043 Garuda Hitam dan 1 Peleton dari Brimob. Peleton Brimob tersebut merupakan polisi yang di-BKO-kan dari Polwil Lampung.
“Penyerangan yang berujung pada pembunuhan terhadap penduduk sipil dilakukan oleh setidaknya pasukan dari Korem Garuda Hitam dan Pasukan Brimob yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam pada waktu itu. Peranan dan keberadaan Danrem dalam lokasi penyerangan ini bukan saja sebagai sebagai pimpinan pasukan tetapi juga terindikasi kuat merupakan pihak yang merencanakan penyerangan sebagai penjabaran dari perintah Pangdam.”
“Bahwa serangan yang terjadi pada 7 Pebruari 1989, merupakan serangan yang bersifat sistematik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya skala (large scale) serangan yang terjadi. Rangkaian kekerasan tersebut melibatkan sumber daya logistik berupa perlengkapan militer antara lain senjata, kendaraan berupa truk, jeep dan helikopter.”
Menurut Tim Ad Hoc, serangan terhadap warga Cihideung terjadi setelah seorang perwira militer tewas terkena panah warga. Berikut kutipan laporan Tim.
“Pada 6 Pebruari 1989, sekitar pukul 11.30 WIB, rombongan berjumlah sekitar 20 orang terdiri atas Kasdim Metro bernama Mayor Oloan Sinaga, Danramil Way Jepara bernama Kapten Sutiman, Serka Dahlan Bataud, Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki dan Stafnya, Lurah Rajabasa Lama bernama Amir Puspamega, Kadus Talangsari bernama Sukidi, dan beberapa orang lagi menuju ke pondok pesantren Warsidi.