Prawoto Mangkusasmito: Politisi yang Menyatukan Kata dan Perbuatan
Menanggapi keputusan Presiden yang semena-mena dan mendadak itu, Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum) dan HM Yunan Nasution (Sekretaris) menyampaikan surat pembubaran Masyumi dan sekaligus menyampaikan “memorandum keras” kepada ayah Megawati itu. Dalam pengantar memo itu, Prawoto mengungkapkan bahwa Masyumi sejak didirikan selalu berpegang teguh pada hukum dan kesepakatan bersama dalam bernegara.
“Umat Islam dibesarkan untuk memegang janji itu, tidak terkecuali janji yang diberikan kepada golongan lain, sampai pula janji yang diberikan kepada golongan yang menurut paham Islam dinamakan golongan kafir,” tulis Prawoto, tertanggal 13 September 1960.
Memo itu selanjutnya meminta kepada tokoh-tokoh Masyumi untuk tetap memperjuangkan hukum Islam dan menyindir kekuasaan Soekarno yang cenderung diktator. “Orang-orang yang benar-benar memperjuangkan Islam, tidak bisa lain dari bertujuan supaya hukum Islam berlaku dan terutama untuk si pejuang sendiri, hukum Islam dengan segala batas dan larangan-larangannya, yang tidak boleh dilanggar oleh si Muslim yang kebetulan berkuasa.”
Sebelum Masyumi dinyatakan bubar, Prawoto sebenarnya telah memberikan kuasa hukum kepada Mohammad Roem, Mr. Madoeretno Haaznam dan Mr. Djamaluddin Dt. Singo Mangkuto untuk menggugat Soekarno lewat Pengadilan Negeri Istimewa, Jakarta. Gugatan itu kemudian disampaikan oleh Mohammad Roem 9 September. Roem menulis bahwa Penpres No. 7/1959 itu, tidak mempunyai kekuatan hukum dan merupakan penyimpangan UUD 45. Karena itu, Kepres 13/60 juga batal demi hukum. Pembubaran Masyumi, menurut Roem, menutup pintu bagi berjuta-juta warga negara untuk beramal dan karena itu menimbulkan kerugian yang tak terhingga.
Tapi usaha rehabilitasi Masyumi gagal, karena Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta lewat Ketua Pengadilannya M Rochjani Soeoed, menyatakan Pengadilan itu tidak berwenang memeriksa perkara gugatan yang disampaikan Masyumi.
Tidak mengenal letih, Prawoto dan kawan-kawan terus mengusahakan rehabilitasi Masyumi pada masa awal Soeharto berkuasa. Tapi, sayangnya Soeharto seperti juga Soekarno menolaknya, meski Orde sudah berganti. Bukan hanya Masyumi yang gigih untuk memperjuangkan kembali eksistensinya, PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang juga dibredel Soekarno juga aktif melakukan usaha rehabilitasi. Di masa Soeharto, dalam Musyawarah Nasional III Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) dikeluarkan tuntutan agar partai-partai yang dibubarkan Soekarno (Masyumi, PSI, KAMI dan Murba) direhabilitasi kembali (3 Desember 1966). Tapi usaha itu lagi-lagi gagal.
Dalam pidato-pidato usai pembubaran Masyumi, Prawoto sering menguraikan secara menarik isu-isu Masyumi waktu Soekarno berkuasa. Salah satu di antaranya uraiannya mengapa Masyumi menolak tegas gagasan Presiden agar kabinet disangga empat kaki, yaitu Masyumi, NU, PNI dan PKI.
“Kita tidak bisa berkompromi dengan kaum komunis sehingga sampai-sampai kita dinyanyikan berkepala batu,” urainya pada reuni Keluarga Besar Bulan Bintang di Jakarta, pada 24 Oktober 1966.
Prawoto dalam kesempatan itu juga menyebut adanya phobi kepada Masyumi. Ia menyebut ada mitos yang diciptakan (Soekarno dan pengikutnya) bahwa Masyumi anti Pancasila dan Masyumi akan membawa revolusi ke kanan.
Ia mengakui bahwa Masyumi memang berjuang menegakkan hukum Islam. Lain dengan beberapa “partai Islam” sekarang yang ragu-ragu memperjuangkan hukum Islam, dalam Anggaran Dasarnya, Masyumi secara eksplisit mencantumkan terlaksananya hukum Islam sebagai tujuan. Masyumi juga menegaskan bahwa anggota partai adalah mereka yang beragama Islam.
Perjuangan Masyumi untuk mendukung Piagam Jakarta, tidaklah setengah-setengah. Tokoh-tokoh Masyumi saat itu, rajin melobi partai-partai lain sehingga dukungan untuk Piagam Jakarta sampai meraih 43% suara dalam pemungutan suara di Konstituante. Tapi, perlu dicatat, menurut Prawoto, yang menolak Piagam Jakarta ada penyokong palsu. Yaitu PKI, yang saat itu setuju digunakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebenarnya cukup aneh bila ada partai yang mengaku partai Islam, tapi tidak secara serius memperjuangkan terlaksananya hukum Islam dalam masyarakat dan negara. Padahal Soekarno sendiri yang mazhab ideologinya “gado-gado” pernah menyatakan silakan masing-masing golongan memperjuangkan ideologinya.
“Kalau pihak Islam menghendaki suatu Undang-undang Dasar yang sesuai dengan cita-citanya, berjuanglah sekeras-kerasnya di dalam permusyawaratan perwakilan itu. Jika golongan Kristen, ingin supaya cita-citanya termasuk Undang-undang Dasar, berjuanglah sekeras-kerasnya juga,” kata Soekarno.
Karena itu, Hamka sebagaimana juga Prawoto tidak mengenal lelah untuk perjuangan tegaknya hukum Islam itu. Hamka, ulama dan tokoh Masyumi lainnya sering mengingatkan, “Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum. Syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?’ Janganlah berbohong dan mengolok-olok jawaban. Katakan terus terang, bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an kita pungkiri?” (Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 6).
(Nuim Hidayat)