NASIONAL

Rekonstruksi Sistem Pencalonan Capres dan Cawapres pada Pilpres 2019

Tulisan ini merespon positif hasil musyawarah Rakornas Persaudaraan Alumni 212 (29-5-2018) yang telah merekomendasikan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres tahun 2019 yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri, penguatan penggalangan dukungan sudah demikian massif dan dengannya telah banyak pemberitaan, termasuk berbagai pencitraan. Pada Pilpres tahun 2019 tentunya memerlukan rekonstruksi sistem pencalonan dan sekaligus penyaluran aspirasi politik umat. Rekonstruksi tersebut menjadi sangat signifikan, mengingat saat ini berlaku sistem multipartai. Di sisi lain, untuk mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres, menurut ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ditetapkan ambang batas (presidential threshold), partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014. Sejatinya, pasal tersebut sudah kehilangan relevansinya, mengingat pada Pileg dan Pilpres 2019 diselenggarakan secara serentak. Sangat disayangkan Mahkamah Konsitusi menyatakan dalam putusannya bahwa Pasal 222 adalah sah dan mengikat. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan presidential threshold, Presiden yang terpilih nantinya memiliki kekuatan di parlemen.

Konsekuensi logis penerapan presidential threshold tersebut adalah terjadinya polarisasi dua poros kekuatan, sangat sulit tercipta lebih dari itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan terciptanya calon tunggal, tidak lain tidak bukan adalah incumbent. Jika muncul calon tunggal, maka penulis sepakat dengan statement Yusril Ihza Mahendra, “kita akan memilih kotak kosong!”. Oleh karena itu, Ormas-Ormas Islam harus bekerja ekstra guna menhadirkan pasangan Capres dan Cawapres yang sesuai dengan keinginan umat. Ormas-Ormas Islam yang tergabung dalam PA 212 memiliki peran yang signifikan dan strategis dalam upaya mendorong konsolidasi dan integrasi partai politik yang selama ini telah terbukti memperjuangkan aspirasi umat, dan melakukan pembelaan terhadap alim ulama dan aktivis 212. Terlebih lagi Rakornas PA 212 telah merekomendasikan nama-nama Capres dan Cawapres untuk berlaga pada Pilpres tahun 2019. Sejumlah elemen mengapresiasi hasil musyawarah Rakornas PA 212. Tentunya, hasil musyawarah tersebut harus pula diimpelementasikan dalam langkah konkrit-stategik, dengan sejumlah upaya-upaya yang implementatif-progresif.

Menurut penulis, teori Critical Legal Studies (CLS) dapat digunakan untuk proses rekonstruksi dimaksud. Teori CLS memperkenalkan metode trashing, genealogy dan deconstruction. Trashing, adalah teknik untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Metode ini dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan. Genealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat konstruksi hukum. Deconstruction adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.

Untuk itu, penulis bermaksud untuk melakukan dekonstruksi sistem penyaluran dukungan dan pencalonan Capres dan Cawapres terkait dengan rekomendasi Rakornas PA 212. Dekonstruksi yang dikerjakan di sini berlangsung berdasarkan kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya penemuan metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum. Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak tertampilkan dan karena itu juga tidak terbicarakan. Pihak dimaksud adalah para alim ulama dan habaib, termasuk para tokoh aktivis, dan cendekiawan muslim. Mereka ditampilkan lebih banyak ketika kepentingan politik memerlukannya, misalnya dalam kepentingan kampanye elite politik. Setelah itu, peran mereka relatif “disirnakan”. Dalam proses dekonstruksi, hak dan kepentingan para pihak harus dikontruksi ulang sebagai dua entitas yang interdependen. Tidaklah konstruksi itu bertahan pada norma-norma bahwa hak dan kepentingan pihak yang satu berkedudukan dominan (superior), sedangkan kepentingan pihak yang lain terpandang sebagai wujud yang inferior. CLS menekankan adanya suatu sistem yang responsif dan sekaligus progresif. Dengan demikian, dekonstruksi yang dimaksudkan adalah sebagai bagian dari upaya rekonstruksi yang positif, bukan sebaliknya.

Kita ketahui, bahwa sistem multipartai telah melahirkan banyak partai politik. Kepentingan politik praktis telah pula menyebabkan partai politik lebih dekat dengan agenda pragmatis dan cenderung tidak populis. Banyaknya partai politik belum menunjukkan kemampuannya untuk sampai ke tahap konsolidasi untuk menuju tahap selanjutnya, yakni integrasi. Upaya awal konsolidasi memang dilakukan, tetapi hanya sebatas pada upaya penggalangan dukungan untuk pemenangan calon dalam bentuk koalisi. Koalisi lebih bersifat strategi elite politik. Koalisi bukan dimaksudkan untuk integrasi politik menuju kemaslahatan umat, berdasarkan nilai-nilai universal syariat Islam. Diakui bahwa koalisi belum ada yang bersifat permanen dan memang sulit untuk itu. Namun, koalisi terhadap “kebenaran dan keadilan” harus diwujudkan, ini adalah “common platform.”

Kita sadari bahwa hukum (baca: peraturan perundang-undangan) adalah produk politik. Sebagai produk politik, tentunya lebih berpihak pada mereka yang memiliki power. Politik sangat identik dengan kekuasaan, namun kekuasaan yang absolut lebih dekat dengan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), sebagaimana dinyatakan oleh Lord Acton, “power tend to corrupt.” Sistem demokrasi kita lebih kepada formalitas belaka, hanya untuk menyakinkan dunia “Indonesia sebagai negara demokrasi”. Namun, sistem demokrasi yang dianut oleh semua negara juga dipertanyakan dalam keberhasilannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penerapan sistem demokrasi lebih condong kepada upaya pendistribusian kekuasaan belaka (demokrasi politik), sehingga menjauhkannya dari tujuan dan cita-cita nasional, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) yang berkeadilan sosial.

Lebih lanjut, diadakannya ketentuan presidential threshold tentunya memberikan pengaruh terhadap pencalonan yang dilakukan partai politik. Partai politik yang tidak memenuhi presidential threshold, harus berupaya menjalin kekuatan dalam bentuk koalisi. Namun, koalisi tersebut tidaklah mudah, terutama dalam hal menentukan pasangan calon yang akan diusung. Sejarah juga telah membuktikan bahwa sistem multipartai telah membawa ketidakstabilan sistem politik. Pada era Orde lama, pemerintahan “jatuh bangun”. Sementara itu, PKI diuntungkan dengan terkotak-kotaknya umat Islam dalam berbagai partai. Pada masa sekarang, sistem multipartai juga memperlemah kedudukan negara (baca: pemerintah). Suatu dilema, semakin menguatnya demokrasi menjadikan negara tidak berlaku efektif. Sebaliknya semakin efektifnya negara, menjadikan tidak demokratis. Tesis Samuel Hungtinton inilah yang menjadikan semua negara berkembang – seperti Indonesia – lebih mengejar aspek demokrasi, terlebih lagi tampilnya kekuatan civil society demikian banyak. Umat Islam, melalui Ormas-Ormas Islam juga harus membangun kekuatannya melalui “civil society yang madani” guna menampung aspirasi umat Islam dalam rangka menghadirkan Presiden dan Wakil Presiden yang mejalankan “misi kenabian”. Tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan Indonesia pada perubahan yang sangat mendasar, yakni harus adanya alternatif pendayagunaan penggalangan dukungan, melalui sinergitas antara Ormas Islam dengan Partai Politik yang selama ini dipandang persuasif dan akomodatif terhadap aspirasi umat Islam.

Kita patut apresiasi dan tindak lanjuti seruan Imam Besar Indonesia Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional dan Partai Bulan Bintang seyogyanya bersatupadu dalam kepentingan pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Keempat partai politik tersebut harus segera melakukan konsolidasi guna menentukan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Di sisi lain, Ormas-Ormas Islam bersama dengan PA 212 melakukan pemantapan penjaringan bakal calon. Untuk kepentingan ini, dapat dilakukan dengan mekanisme Konvensi Umat. Konvensi Umat ini pernah dilakukan menjelang Pilkada DKI Jakarta yang lalu, dengan membangun Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah guna optimalisasi “satu pasang calon”, dimana Al-Habib Muhammad Rizieq Shihab didaulat sebagai ketua. Dalam kepengurusannya, dibentuk Dewan Pemilih yang bertugas menjaring bakal calon, untuk kemudian “diberdayakan” kepada partai politik. Sepanjang pengetahuan penulis, dalam perjalanannya tidaklah ada aral melintang, berbagai strategi dan upaya mampu diwujudkan, umat pun semakin tercerahkan. Mengacu kepada model Konvensi Umat versi Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah tersebut, kiranya dapat diimplementasikan oleh PA212 dan tentunya menjadi motivasi bagi keempat partai politik tersebut di atas untuk melakukan koalisi yang terintegrasi secara sistemik, holistik, dan komprehensif.

Pada akhirnya, baik bakal calon yang direkomendasikan oleh PA212, maupun bakal calon dari koalisi keempat partai politik sebagaimana dimaksudkan di atas haruslah dikompromikan. Jika pada langkah awal sudah terbangun kesamaan persepsi kualifikasi, tentu tidaklah sulit menentukan calon definitif yang diharapkan, diterima dan didukung oleh masyarakat. Penulis pribadi sangat yakin, dengan bersatunya komponen umat dengan koalisi partai tersebut akan dapat menaikkan suara dan memenangkan Pilpres tahun 2019.

Jakarta, 29 Mei 2018

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ahli Hukum Pidana Aksi Bela Islam 212 & Ketua Dewan Pembina Lembaga Advokasi DPP Partai Bulan Bintang.

Artikel Terkait

Back to top button