EDITORIAL

Sekarang Musuh Sila Ketuhanan YME itu Bukan Komunisme, tapi Intoleransi

Selama ini, itulah yang terjadi. LSM-LSM liberal itu, selama ini memasukkan indikator-indikator terjadinya intoleransi itu tidak jauh-jauh dari urusan: apakah umat Islam setuju dengan kepemimpinan non-muslim untuk level Bupati/Wali Kota-Gubernur hingga Presiden, bagaimana sikap umat Islam terhadap aliran sesat seperti Ahmadiyah, pendirian tempat ibadah non Muslim di tengah mayoritas Muslim, ucapan selamat natal, dan tentang Perda Syariah.

Karena itu tidak mengherankan jika LSM-LSM liberal memasukkan provinsi-provinsi yang tingkat ketaatan dan keteguhan warganya terhadap Islam kuat, ke wilayah yang tingkat intoleransinya tinggi.

Padahal, jika standarnya adalah konstitusi atau peraturan perundang-undangan, sama sekali tak ada yang salah dengan sikap umat Islam yang hendak dipojokkan dengan istilah intoleransi ini.

Mari kita buka dan kita tanya satu-satu.

Pertama, apakah salah jika umat Islam lebih memilih pemimpin yang seakidah dengan mereka. Tidak ada yang salah. Dan pilihan ini dijamin oleh Konstitusi.

Kedua, apakah salah jika umat Islam menolak aliran/paham sesat Ahmadiyah? Tidak ada yang salah. Sebab sikap umat itu sesuai dengan SKB Tiga Menteri tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Ketiga, apakah umat Islam salah jika menolak pendirian rumah ibadah yang melanggar aturan? Tidak salah. Sebab sikap umat Islam itu sesuai dengan SKB Dua Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Keempat, apakah umat Islam boleh dikatakan intoleran jika menolak pemurtadan yang dilakukan kelompok agama tertentu dengan beragam modus materi? Tidak. Sebab penyiaran agama juga sudah diatur oleh SKB Dua Menteri Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama.

Kelima, apakah salah jika umat Islam mengusulkan Perda Syariah? Tentu tidak salah juga. Sebab hal itu sesuai konstitusi yang mengakomodir aturan berdasarkan hukum agama. Jangankan Perda, sejumlah Undang-Undang pada level nasional juga banyak yang bernafaskan Islam.

Intinya, menyematkan kata “intoleran” pada umat Islam dan menjadikan hal itu sebagai musuh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu sama sekali tak berdasar. Seharusnya, musuh tauhid adalah anti-tauhid. Mereka yang tidak bertuhan, mereka yang melawan aturan agama dan hendak memisahkan agama dari negara itulah musuh sejati sila Ketuhanan.

Janganlah Pancasila dijadikan sebagai alat untuk menindas hak konstitusional umat Islam.

Pak Natsir, pada 1 Maret 1985 melalui tulisannya “Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional”, sudah menyindir dengan sindiran yang faktual hingga kini.

Kata Pak Natsir, umat Islam diserukan dengan seruan “Demi Persatuan dan Kesatuan”, namun yang dialami umat Islam justru gejala-gejala Islamofobia yang terus meningkat dari hari ke hari dalam bermacam bentuk dan bidangnya, yang mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak. Wallahu a’lam. [MSR]

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button