RESONANSI

UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat: Kepalang Tanggung Cabut UU Cacat

Perjalanan UU nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) memasuki babak baru. Sebelum diketok palu di tengah malam buta, UU Ciptaker menuai aksi protes di berbagai daerah dan berbagai kalangan, terutama buruh. UU ini pun diajukan ke MK untuk uji formil.

MK mengabulkan uji formil UU Ciptaker dalam putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 (cnnindonesia.com, 27/11/2021). Pertama kali dalam sejarah. MK memutuskan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pemerintah dan DPR RI memperbaikinya dalam 2 tahun. Jika dalam tempo waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional permanen.

Tak ayal, keputusan MK tersebut mengundang kritik banyak pihak. Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai bahwa MK mengambil jalan tengah dan membuat keputusan tersebut menjadi ambigu. Sebab awalnya MK sudah menilai bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, namun karena obesitas regulasi maka ditetapkan inkonstitusional bersyarat. Seharusnya MK hanya menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan terkait isi.

Menurut Denny, seharusnya MK membatalkan saja UU Ciptaker karena inkonstitusional. Dan UU yang inkonstitusional sudah seharusnya tak lagi digunakan sebagai dasar untuk membuat peraturan yang lain. Namun, adanya kata bersyarat menjadikan UU Ciptaker masih bisa digunakan selama 2 tahun masa perbaikan. Padahal UU ini cacat secara formil dan penuh masalah.

Hal senada disampaikan oleh pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti. Menurutnya, keputusan MK tak lepas dari pertimbangan politik, bukan hanya pertimbangan hukum. Jadi, keputusan MK ini bukan kemenangan bagi pemohon meskipun uji formil dikabulkan. YLBHI bersama 17 LBH, WALHI dan Komnas HAM pun ramai mengkritik keputusan MK yang ambigu.

Ketidakmampuan MK mengambil keputusan yang tegas untuk membela rakyat menggambarkan ada kepentingan yang bermain. UU Ciptaker yang merupakan omnibus law atau satu undang-undang yang mencakup banyak hal, dinilai lebih mengakomodir kepentingan kapital. UU Ciptaker merupakan penanda semakin kuatnya oligarki di negeri ini.

Terlihat dari betapa terburu-burunya pemerintah dan DPR dalam membuat dan mengesahkan UU ini. Diajukan pada 7 Februari 2020 dan disahkan pada 2 November 2020. Tak sampai satu tahun. Padahal ada ribuan pasal dari 11 klaster. Klaster tersebut terdiri dari, penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan yang terakhir kawasan ekonomi.

Klaim sudah mendengarkan aspirasi dari rakyat berbanding terbalik dengan fakta penolakan berbagai kalangan atas isi UU Ciptaker. Demonstrasi mengiringi perjalanan UU ini, mulai dari draft RUU hingga disahkan. Namun pemerintah dan DPR tetap bergeming dan melanjutkan agendanya. Hingga sampailah ke meja MK, dan hasilnya pun sebelas dua belas. Tak memberi keadilan bagi rakyat.

Demikianlah sistem hidup yang menggunakan hukum buatan manusia. Takkan pernah melahirkan keadilan. Sebab saat manusia di daulat sebagai pembuat aturan, maka akan banyak kepentingan yang mempengaruhi keputusannya.

Sistem demokrasi membuat para pemangku kebijakan tersandera oleh kapital. Besarnya dana menuju tampuk kekuasaan membuat penguasa berutang budi pada pengusaha. Maka, dibuatlah aturan yang akan melenggangkan bisnis pemilik modal, meskipun ditentang oleh rakyat banyak. Inilah oligarki kapital, ketika kelompok individu yang menggunakan kekayaan untuk memilih pejabat publik dan menentukan kebijakan politik. Jelas takkan lahir keadilan pada setiap aturan yang dibuat.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button