‘Wong Cilik’ Jadi ‘Wong Licik’
Itu asmosfer kekecewaan dan kekesalan yang dirasakan oleh setiap warga bangsa—meski sebagian tak peduli atau dianggap buta politik karena sesungguhnya tak dipedulikan dan dibutakan oleh rezim licik negara itu. Termasuk, khususnya bagi seluruh kader loyalis PDIP terhadap Jokowi sekarang.
Adagium keterwakilan sebagai Jenderal “Wong Cilik” yang dahulu sempat sangat dibanggakan sudah tak pantas lagi disematkan kepada Jokowi yang sesungguhnya sudah keleru lan kecelek citra gorong-gorong semenjak dari awalnya.
Keaslian Jokowi itu sesungguhnya lebih banyak menyimpan kromosom DNA kelicikan itu membuat dirinya mudah berubah dan berulah.
Sekarang demi kebaikan untuk rakyat, bangsa dan negara setiap warganya harus disadarkan Jokowi lebih layak disematkan julukan sebagai Jenderal pemimpin “Wong Licik”.
Dari sejarah dahulu PDIP sebagai partai tertindas oleh kekuasaan Orde Baru yang kemudian dijjatuhkan oleh gerakan revolusi 98, bercita-cita ideal ingin mengangkat derajat Wong Cilik secara keseluruhan pada umumnya.
Tetapi, sayangnya ketika salah satu Wong Cilik itu diberi kekuasaan jabatan Walikota, Gubernur hingga Presiden ternyata —dalam segala hal kepentingan syarat dan syariat jabatan kepemimpinan yang membutuhkan jiwa kebangsaan a nation state building, kredibilitas intelektual, kompetensi ketokohan kenegarawanan dan kerakyatan, bahkan keharusan adanya jaminan level tinggi keimanan religiusitas pada Ketuhanan, dsb. Itu tidak cukup mumpuni dimilikinya.
Bahkan, seperti moral hazard sangat jauh melebihi dari nilai standar. Apalagi, manakala modus ijazah palsu itu benar-benar terbuktikan.
Maka, artikulasi Wong cilik itu pada dasarnya secara harfiahnya, adalah orang miskin secara material dan moral, bodoh secara intelektual, dan tak berkompeten dalam ilmu meritokrasi, demokrasi dan birokrasi, serta dengan segala aras profesionalisme kenegaraannya:
Saat diberi kekuasaan jabatan tertinggi pemimpin negeri itu, adalah ulah dan polah sudah menunjukkan tindakan pemalsuan dan pembohongan publik di bawah sumpah Al-Qur’an:
Dinomorsatukan ambisiusime egoistik yang kemudian membuka peluang kebohongan pertama kemudian berulang-ulang dilakukannya untuk mendapatkan segala keinginan individualnya.
Sengaja dilupakan dan terlupakan untuk kepentingan rakyatnya dengan menjauhi nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Segala non etika dan tindakan nirmoral melawan Tuhannya. Karena kebenaran dan keniscayaan politik kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan yang tengah diemban di pundaknya itu di Republik ini, adalah Vox Populi Vox Dei.
Yang selama satu dekade kemudian itu terbuktikan setelah pencapaian kekuasaan individual terpuaskan —-dengan kecenderungan munculnya kepemimpinan otoriter otoritarianisme— hanya bergeser sedikit itupun ke arah aura politik negatif menurut diskursus akademis ilmu politik.